Sabtu, 26 Juli 2014

MENYATUKAN JIWA BANGSA




Perhelatan memilih pemimpin kali ini merupakan sejarah baru, dimana para kandidatnya konon dikatakan memiliki tingkat kepercayaan dan keterpilihan yang hampir sama; yang membuat bangsa seolah terbelah menjadi dua.

Keterbelahan tersebut menimbulkan ketegangan yang bisa berpotensi menjadi konflik, namun juga bisa kita ambil sebuah pelajaran, untuk menentukan langkah bangsa ini ke depan.

Masyarakat sebuah bangsa, dibentuk dari interaksi sosial yang begitu rupa; konflik dan rekonsiliasi yang silih berganti, persinggungan dengan alam yang menawarkan kehidupan sekaligus ancaman kematian dan kehancuran tak terduga, serta penetrasi bangsa asing dengan beragam kepentingan, semua bersintesa menjadi jiwa bangsa yang unik dan khas. 

Masyarakan nusantara, sebagaimana jamaknya masyarakat timur, menyandarkan segala aspek kehidupannya pada spiritualitas. Kita tidak bisa lepas dari kepercayaan terhadap sesuatu yang ghaib, atau dunia lain selain dunia material. Meskipun akhir-akhir ini modernitas memaksa sebagian besar warga dunia untuk menggunakan hanya rasionya—pun yang bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’—jiwa kita akan selalu merindukan kekuatan adikodrati untuk turut campur dalam persoalan kehidupan, memberikan sentuhan keajaiban; terutama di saat-saat keadaan yang tak tertahankan. Beberapa orang menyatakan hal semacam itu sebagai ‘pelarian’, di sisi yang lain, seringkali bermanfaat bagi seimbangnya jiwa, karena motivasi dan harapan yang selalu terjaga. 

Masyarakat dengan tipikal semacam itu, tidak menentukan dan memilih pemimpin berdasarkan pikiran. Sia-sia menyajikan data ataupun fakta dalam rangka meyakinkan secara logika, untuk memilih calon pemimpin tertentu. Masyarakat kita akan menggunakan jiwanya secara total, untuk menentukan sosok yang pantas untuk memimpin mereka. Meskipun tampaknya, ada beberapa diantara mereka yang memilih berdasarkan imbalan materi, namun pada hakikatnya, tidak ada yang mereka patuhi kecuali jiwa mereka sendiri, atau yang sering disebut dengan rasa. Masyarakat kita memilih berdasarkan rasa batin mereka. Mereka akan mengulang-ulang dalam batin, nama calon pemimpin mereka, memandangi wajahnya, solah bawa, nada dan kekuatan dari ucapannya, lambaian tangannya, dan segala hal yang memberikan kesan ke dalam jiwa; barulah mereka menentukan pilihan. Beberapa orang yang peka batinnya, bahkan sudah bisa membaca rasa batin dari masyarakat, sosok yang dipilih dan diidamkan. Seolah ada semacam pemberitahuan dari alam semesta, jiwa bangsa, mengenai sosok yang pantas menjadi pemimpin. Rasa batin, kepekaan, dan suara jiwa bangsa, bisa dibuktikan dan dipelajari dari munculnya Soekarno yang tanpa tanding, bertahannya Soeharto puluhan tahun, dan terpilihnya SBY dalam pilpres yang dipilih secara langsung.

Saat ini pun demikian. Kita sebenarnya sudah bisa membaca, siapa yang pantas memimpin Indonesia. Rasa batin dari masyarakat sebenarnya sudah bisa ditebak kemana arah pilihan dan kecenderungannya. Hanya saja, itu semua terkaburkan oleh mekanisme dan tata cara ketebelece, yang memiliki banyak celah untuk manipulasi dan kecurangan, keberpihakkan beberapa media yang memuakkan, dan sulap statistik yang dilakukan beberapa lembaga survey. Administrasi, jurnalistik, dan statistik, seperangkat ilmu-ilmu modern yang disalahgunakan begitu rupa, karena nista dan ketidakmurnian jiwa manusia yang menggunakannya. Kekaburan tersebut membuat bangsa menjadi terbelah. 

Sebagaimana kepribadian manusia, keterbelahan juga bisa melanda sebuah bangsa. Bangsa yang tidak jelas jati dirinya, tidak menyadari perannya sebagai bangsa, bingung dan ragu dalam melaju, maka sangat mungkin untuk terbelah. Dalam memilih dan menentukan pemimpin (bukan pemimpi), bangsa ini terbelah menjadi mereka yang menginginkan egaliterianisme dan mereka yang masih mengidamkan aristokratisme (untuk tak menyebut elitisme). Sebagian masyarakat masih mengidamkan sosok raja dan suasana priyayi, yang mirip strata sosial masyarakat eropa zaman pertengahan, sebagian lagi menginginkan kepemimpinan parsipatoris, yang sama rata, tak berjarak, tanpa kesenjangan, mirip dengan masyarakat suku, yang menjunjung tinggi gotong royong dan kekeluargaan. Pertanyaannya, kemana arah bangsa ini sebaiknya dan seharusnya? Jawabannya pun sebenarnya sudah pasti, dan sudah kita terima secara aklamasi. 

Ya, rasa batin kita telah sama-sama mengangguk maklum; jiwa kita pun kembali menyatu. 

Ki Mantyasih
Penulis

Selasa, 22 Juli 2014

Menghentikan Ekspektasi Kita, Membuat Alternatif Ketiga




“Jika bukan si A yang jadi, maka negara akan lemah; jika bukan si B yang jadi, negara menjadi otoriter; harus A, karena bla … bla .. bla … ; semestinya B karena ble … ble …ble …” Seperti itu kiranya yang ada dibenak kita saat-saat menjelang pemilihan presiden. Semua orang memiliki alasan untuk setiap pilihannya; dan setiap pilihan memuat semua harapan ideal yang mungkin bisa kita bayangkan.

Benak manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menjangkau masa depan. Terhadap benda atau sesuatu apapun, setiap manusia memiliki paling tidak sepersekian persen untuk memprediksi atau dalam bahasa yang lebih vulgar meramal. Tanpa kita sadari, setiap saat kita meramal apa saja. Sebuah rencana harian, agenda bulanan, dan strategi jangka panjang maupun pendek, selalu terselip ramalan-ramalan yang secara intuitif memasuki kesadaran kita, yang kemudian kita carikan penguatnya pada data, fakta, dan logika. Tapi, percayalah bahwa kita pasti meramal; seberapun prosentasenya.

Saat melihat sebuah kejadian, benak kita berfikir tidak hanya kejadian tersebut, melainkan keseluruhan kehidupan terutama kehidupan kita sendiri. Saat melihat sesuatu, kita tidak hanya berfikir tentang sesuatu itu, melainkan juga keseluruhan hal yang melingkupinya terutama dengan hal yang ada keterkaitan dengan kehidupan (kepentingan) kita.

Dalam hal ‘penglihatan’ itulah, seseorang seringkali terjebak pada kesan, sehingga menimbulkan apriori, sangkaan, dugaan, bahkan simpulan yang menjadi semacam keyakinan. Melihat orang berdasi dengan stelan jas yang necis, kita merasakan kesan kesuksesan. Benar atau tidaknya, yang jelas sedari awal, dasi dan jas necis sudah berhasil membuat kesan itu. 

‘Penglihatan’ kita erat kaitannya dengan kapasitas, yakni pengetahuan dan pengalaman kita. Orang-orang yang sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang berdasi, sudah tahu seluk beluknya, tentu tidak serta merta termakan oleh kesan yang dibuat benda simbol modernitas itu. Bahkan beberapa eksekutif yang juga intelektual, malas memakainya karena sudah tidak unik lagi. Orang-orang tertentu sudah melampaui ‘dunia dasi’, berganti dengan stelan baju dari tenun tradisional yang lebih bersahaja, sementara masih banyak yang bahkan belum menginjakkan kaki di ‘dunia dasi’, dan hanya mampu mengangankannya. Modernisasi memang menimbulkan kesenjangan; di semua aspek yang dijajahnya.

Kembali pada soal, ‘penglihatan’, sebuah masyarakat juga memiliki ‘penglihatan’. Dalam memilih pemimpinnya, masyarakat kita memiliki ‘penglihatan’ yang unik. Kita bisa mempelajari bagaimana rakyat melihat Soekarno, dan membuat semacam ‘penglihatan’ pada sosoknya. Sehingga kita bisa faham, kenapa bukan Tan Malaka, atau Syahrir, yang menjadi pilihan rakyat saat itu. Kita juga bisa mempelajari kenapa rakyat begitu ‘ngeh’ pada sosok SBY, dan membuat ‘penglihatan’ saat itu. Sehingga kita juga bisa ‘ngeh’ kenapa bukan yang ini dan itu yang dipilih rakyat. Intinya pada ‘penglihatan’. 

Meskipun kita sering salah lihat, artinya ‘penglihatan’ saat dulu dan sekarang begitu sering berbeda, toh kita tidak pernah berhenti membuat semacam ‘penglihatan’. Pada pemilihan presiden saat ini, dari orang yang awam hingga intelektual bahkan para romo Begawan, membuat ‘penglihatan’ versi masing-masing. Pemilihan presiden kali ini memang menjadi ujian bagi semua kalangan, baik orang maupun lembaga, mana yang benar-benar murni, mana yang terjebak pada tendensi; mana yang benar-benar seorang intelektual sejati, mana yang karbitan; hingga kepada mana yang benar-benar pemuka agama sesungguhnya, mana yang hanya polesan. Semuanya terlihat, dari ucapan yang seolah dibungkus nurani, namun tak urung berisi nasi bungkus pesanan, dari pendapat yang dilogikakan, namun mengangkangi akal sehat, hingga semacam fatwa yang seolah wahyu ilahi namun penuh sesak hal-hal duniawi.

Kita memang tak pernah berhenti membuat ‘penglihatan’, hasrat ‘meramal’ kita tak pernah sepenuhnya padam. Kita akan terus menerus berekspektasi mengenai si A dan si B hingga busa-busa ekspektasi itu menenggelamkan kita ke dasar jurang. Benarkah jika si A yang menjadi pemimpin kita, kita akan sejahtera? Benarkah jika si B yang memimpin, maka bangsa kita akan disegani? Kita semua tahu, tidak semudah itu! Akal sehat kita sudah sering mengancam saat kita mengatakan dengan mulut penuh busa, pilihlah si A, negera akan sejahtera. Nurani kita sudah demikian sering bergolak mengecam saat kita berteriak lantang pilihlah si B negara akan kuat sekuat macan. Apakah kita bisa memastikan? Kita membohongi diri kita sendiri dan kita sedang mengajak orang ramai-ramai membohongi dirinya. Tanpa kita sadari, kita telah memecah bangsa ini menjadi kutub-kutub yang tanpa makna. Kita demikian mudah berkata-kata, tanpa kita tahu bahwa kata-kata itu sedang berproses menjadi parang dan pentungan yang suatu saat digunakan masing-masing kutub untuk saling melukai. Bangsa yang belum sembuh sepenuhnya oleh luka, kini sudah merintis luka baru; dan kita semua akan dimintai pertanggungjawaban!

Kesalahan fatal kita adalah kita lupa berserah. Kita sepakat untuk berketuhanan yang Maha Esa, namun lupa untuk menyerahkan segala urusan kita pada-Nya. Nasib bangsa ini ada ditangan kita, namun tangan kita bergerak dalam kuasa-Nya. Marilah kita mulai menghentikan ekspektasi kita yang berlebihan. Para calon pemimpin kita hanyalah manusia biasa. Tidak sepatutnya kita meletakkan semua harapan dipundak mereka, sementara kita memiliki pundak-pundak yang meski kecil, namun banyak dan berarti. Marilah kita mulai berpasrah, melakukan apa yang menurut kita benar, namun jangan sekali-kali memaksakan apalagi memastikan, jangan menutup hati untuk kehendak-Nya yang bisa jadi berbeda dengan kehendak kita. Janganlah kita berlebihan dalam membela, berlebihan dalam memihak, berlebihan dalam mencintai dan membenci. Marilah kita membuat alternatif ketiga.

Alternatif Ketiga

Setiap lima tahun, kita memilih pemimpin, dan setiap itu pula kita mengidamkan perubahan yang lebih baik. Tahapan tahun bernegara kita seringkali—kalau tidak selalu—dimuati ketidakpuasan terhadap kepemimpinan masa lalu dan harapan yang berlebihan terhadap kepemimpinan yang akan datang. Seperti perempuan galau yang berganti-ganti pacar, setiap bertemu laki-laki yang baru, pacar yang lama akan dicari-cari kesalahan, sementara pacar baru dipuji-puji setinggi langit. 

Ketergantungan kita kepada pemimpin barangkali karena kita masih meletakkan titik kehidupan kita pada politik. Dalam kehidupan bernegara, kita dipimpin oleh para politisi yang membuat kebijakan dalam pasal-pasal. Undang-undang menjadi kajian, pembicaraan, dan perdebatan yang begitu rupa. Kita jarang sekali membahas, memperdalam, dan mengembangkan filosofi kita yang sangat unik: pancasila. Kita jarang mengembangkan kepemimpinan dalam hikmat kebijaksanaan, 

Kepemimpinan dalam hikmat kebijaksanaan adalah terpimpinnya masyarakat oleh nurani dan akal sehat. Masyarakat menjadi mandiri dalam membangun peradaban tanpa tergantung kepada sosok personal yang bagai manusia setengah dewa. Ketimbang, sibuk dalam hiruk pikuk pemilihan presiden setiap lima tahun, kenapa tidak kita sibukkan diri kita membina masyarakat yang beradab, mendidik dan menyemaikan kebijaksanaan masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat penuh dengan olah cipta, rasa, dan karsa. Bukankah kita terlalu memberikan perhatian kepada Indonesia dalam konsep negara, dengan politik dan hukum yang sarat manipulasi dan kepentingan? Sementara, perhatian kita kepada Indonesia sebagai bangsa, sangat amat minim. Kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan, itulah hakikat bangsa. Bangsa merupakan entitas budaya yang menjadi ruh peradaban.

Kita masih punya pekerjaan rumah kaitannya dengan konstruksi bahasa kita. Kemapanan bahasa masyarakat kita masih sangat membutuhkan perhatian, begitu pun pewarisan bahasa dari generasi ke generasi. Khazanah ilmu pengetahuan dan budaya nusantara masih banyak yang mesti digali dan dikembangkan, bahkan suatu saat mestinya kita bisa merumuskan konsep ilmu pengetahuan kita sendiri yang khas, tanpa tergantung dengan ilmu pengetahuan dengan sudut pandang positivis Barat yang timpang. Kita bisa merintis sebuah peradaban dunia yang baru, Peradaban Tenggara, dengan mengembangkan warisan ilmu dan budaya nusantara yang adiluhung: serat-serat kuno begitu berlimpah, produk-produk budaya, candi, artefak, situs, tradisi lisan, semua menunggu untuk dikembangkan. Selain kaya dengan sumber daya alam, kita juga kaya dengan sumber daya budaya. Kenapa tidak ada pemimpin yang begitu pekat dan intim membicarakan hal ini?

Tidak usah menunggu pemimpin. Orang-orang yang sadar budaya, para budayawan yang hatinya murni, mesti mengambil alih keadaan. Mengerahkan daya magisnya untuk membangun masyarakat yang berbudaya yang dapat memimpin dirinya sendiri. Inilah alternatif ketiga, sebuah kepemimpinan budaya, kepemimpinan akal sehat dan nurani. 

Saat masyarakat mampu memimpin dirinya sendiri, pemimpin muncul dengan alamiah, yakni dia yang paling memiliki hikmat kebijaksanaan dalam dirinya. Tidak ada ketegangan, tanpa hiruk pikuk, begitu anggun dan beradab. Seperti kata Plato, hanya sosok raja filsuf yang mampu memimpin dengan adil dan bijaksana, yang mampu mewujudkan peradaban sebuah bangsa. Sosok itu, hanya akan muncul ditengah-tengah masyarakat yang pekat budaya, penuh gairah dalam olah cipta, rasa, dan karsanya. Kaidahnya, dari masyarakatnya dulu yang adil, baru akan muncul ratu adil, bukan sebaliknya. Media yang adil, tokoh-tokoh yang adil, guru-guru yang adil, pemuka-pemuka agama yang adil, dan seluruh komponen dalam masyarakat harus mempelopori keadilan. 

Guru akan datang manakala murid sudah memiliki kesiapan batin, sosok pemimpin yang adil akan datang, manakala masyarakat sudah siap dipimpin dalam keadilan. Mendidik masyarakat, mengembangkan budaya, membangun bangsa—bukan hanya negara—dalam hal itulah mestinya kita disibukkan, bukan dengan hingar bingar politik yang selalu saja menjerembabkan kita ke titik terendah kemanusiaan, bahkan menguak sisi kebinatangan begitu rupa.

Jika kita masih berharap dan tergantung kepada sosok pemimpin, lihat saja, setelah terpilihnya pemimpin yang baru, ekpektasi kita akan mulai berkurang seiring berkurangnya tahun kepemimpinan, dan di pertengahan tahun kepemimpinan—siapapun nanti—mahasiswa kita akan mulai berdemo menolak kedatangan sang pemimpin di setiap kota. Kita akan mulai lagi nggerundel, media kita akan mulai rasan-rasan, dan di warteg, kita akan mulai mengeluhkan keadaan, sembari mengepulkan asap rokok, menerawang dan membatin, kapankah ratu adil akan datang … ?

Ki Mantyasih
Penulis

Rabu, 12 September 2012

Kemerdekaan Diri; Sebuah Kemerdekaan Budaya


“Politik membangun dari atas, budaya membangun dari bawah. Politik membuat suatu kerangka, budaya yang mengisi massa di dalamnya.”

Kemerdekaan silam, tahun 45, adalah kemerdekaan jenis kemerdekaan politik. Kita resmi secara politik, menjadi sebuah negara. Kita punya kedaulatan untuk memerintah dan menentukan nasib kita sendiri. Bangsa—sebuah istilah budaya—telah bertransformasi menjadi negara—suatu bentuk lembaga super politik.

Ada yang unik dalam hal ini. Sebuah transformasi dari bangsa menuju negara, selalu dalam tujuan memperkuat entitas bangsa. Proses transformasi menjadi negara, biasanya dilakukan oleh sebuah bangsa yang entitas kebangsaannya sudah demikian kuat dan terhimpun berabad-abad.

Indonesia, adalah kasus unik. Proses menjadi bangsa dan negara, dilakukan bersama-sama, sekaligus. Tidak ada yang bisa disebut bangsa Indonesia sebelum entitas yang terkenal dengan nusantara ini diinvasi oleh kekuatan asing. Kita menjadi bangsa, bersamaan dengan kita menjadi negara. Sumpah pemuda dan budi utomo, tidak bisa disebut tonggak-tonggak bangsa, melainkan lebih tepatnya tonggak-tonggak politik kebangsaan. Sumpah pemuda dan budi utomo, tidak melahirkan kesatuan budaya yang teruji berabad-abad. Sumpah pemuda dan budi utomo merupakan usaha membangun kesatuan budaya sebagai persiapan berdirinya sebuah negara. Inilah yang dimaksud, bahwa proses kita menjadi bangsa, bersamaan dengan usaha kita menjadikan adanya sebuah negara. Artinya, tenggang waktu untuk pematangan sebuah bangsa, terlalu cepat—kalau tidak dikatakan dipaksakan—melalui kharisma seorang Soekarno, yang dengan kepercayaan diri tinggi, mengatakan bahwa beliau menggali Pancasila dari lubuk terdalam bangsa yang hidup berabad-abad di kepulauan nusantara.

Namun, toh bangsa ini bisa berdiri, bisa menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah uniknya, meski akibat dari masak terlalu cepat tersebut, menjadikan kita senantiasa ‘berguncang’ berkali-kali. Korbannya tentu saja dari yang paling atas hingga yang paling bawah.  Dalam sejarah bangsa ini, tidak ada satu pun pemimpin yang ‘selamat’. Semua turun tanpa kehormatan. Oleh siapa? Ya oleh bangsa kita sendiri, dan dalam setiap pergantian kepemimpinan itu, tumbal darah, selalu saja tak bisa dihindarkan. Mudah-mudahan, untuk yang akhir-akhir ini, hal itu tidak terjadi. Inilah yang mesti kita bayar, dari apa yang disebut masak terlalu cepat. Lantas bagaimana? Tentu saja, tulisan ini bukan untuk menggunggat soal matang mematangkan, tapi tentang sebuah penyadaran, bahwa kita semua mesti menyadari, ‘keunikan’ kita.

Politik, Membangun Kerangka; Budaya, Mengisi Massa Bangunannya

Kesadaran bahwa bangsa ini matang terlalu cepat, harusnya membuat kita insaf, sehingga kita menjadi tahu, langkah apa yang semestinya kita ambil dan kita prioritaskan. Ya, kita sudah punya kerangka. Indonesia sudah punya beton-beton bertulang, yang selalu saja sibuk kita format ulang, bongkar pasang, sementara energi kita habis, kita sudah kelelahan, untuk memasang batu-batanya, mengaci, mengecat dinding-dindingnya, memasang atap dan plafon yang cantik, mengisi ruang-ruang dengan meubel dan furnitur, berkegiatan di dalamnya dengan penuh beradab. Sementara ini, kita masih berkegiatan, di dalam bangunan yang terdiri dari beton-beton bertulang, belum ada keramik, apalagi dinding, semua masih terbuka, sehingga kita mudah ‘masuk angin’. Dalam bangunan yang seperti itu, bagaimana mungin kita bisa beradab? Lihat saja, para pekerja bangunan yang berkegiatan dalam bangunan yang masih setengah jadi. Tanpa bermaksud merendahkan mereka, baju tidak perlu bagus, kata-kata tak perlu sopan, berkegiatan dalam debu dan panas.

Kita mesti mulai membangun budaya. Bangsa yang masak terlalu cepat ini, mesti kita matangkan kembali, untuk mengimbangi wajah kakunya sebagai sebuah negara. Negara memang harus berdasar hukum, sebagai konsekuensi politik yang logis. Tapi, sebuah bangsa, tidak boleh tidak, mesti berdasar pada budaya. Jika Indonesia terlalu berwajah negara, maka ia akan terlalu pasti. Terlalu pasti itu sangat berbahaya, karena menjadi sangat mudah dimanipulasi. Kepastian yang keterlaluan juga membuat kita bertangan dan berhati besi: gusur kaki lima, tidak sesuai undang-undang, undang-undang mengatakan begitu, itu wewenang kami, dan kalau sudah kepepet, tinggal katakan, marilah kita pegang teguh asas praduga tak bersalah. Aduhai, betapa keren?

Budaya tidak bisa dimanipulasi, karena wataknya yang dinamis dan tak pasti. Sastra itu multi tafsir, kesenian itu multiargumen. Inilah keseimbangan yang kita harapkan, bahkan mestinya lebih kita prioritaskan. Budaya memiliki kekuatan yang melebihi politik. Sebuah negara bisa saja hancur secara poltik, tapi, asalkan budayanya masih tegak, ia masih sangat kokoh sebagai bangsa. Celakanya, budaya pun telah kita politisasi. Politik itu kebijakan, sedangkan budaya itu kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak boleh diatur-atur oleh kebijakan. Bicara kebijakan, maka yang bermain adalah kepentingan, sedangkan bicara kebijaksanaan, maka itu adalah tentang nurani dan akal sehat. Kebijaksanaan harus di atas kebijakan. Sehingga, saya berani mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya, adalah negara budaya, karena kepercayaan terhadap tuhan dan spiritualitas itu budaya, kemanusiaan itu budaya, persatuan itu budaya, hikmat kebijaksanaan, apalagi kalau bukan budaya, dan jelas, keadilan sosial pastilah budaya.

Budaya adalah daya budi. Budi adalah pencerahan. Budaya hanya muncul dari orang-orang yang tercerahkan, yang nurani dan akal sehatnya begitu bebas dari kepentingan. Untuk memunculkannya, sarana-sarana yang meng-up grade akal sehat mesti diperbanyak, dana-dana untuk program yang bisa menggugah nurani mesti digelontorkan. Diskusi di media televisi dan cetak, aduh, please deh, tolong perbanyak mengenai budaya. Sediakan ruang yang cukup, dana yang memadai, kesempatan seluas-luasnya, untuk para budayawan berpentas dan memimpin jalannya peradaban. Hormati mereka melebihi kehormatan yang diberikan kepada para pejabat dan politisi. Mobil-mobil yang mewah itu, sita saja dari para menteri, hibahkan untuk para budayawan. Dan mestinya, dewan perwakilan rakyat itu, harusnya lebih dari separo, diisi oleh budayawan. Kenapa, kolom sastra hanya seminggu sekali? Kenapa tidak setiap hari kita tampilkan esai-esai budaya, sajak, dan cerpen, agar para pembaca merasakan gegar budaya setiap hari, sehingga mereka mampu mendidik anak-anak mereka dengan baik, bukan memukuli dan memaksakan setiap pendapat untuk anak –anak mereka patuhi secara buta. Ini mesti kita lakukan bersama-sama.

Tujuannya apa sih,

Kita bisa saja merdeka secara politik, dan dengan itu kita berhasil sebagai sebuah negara. Tapi, jika secara budaya, kita belum merdeka, kita sungguh gagal sebagai bangsa. Apa parameter kemerdekaan budaya? Kemerdekaan budaya dapat dikatakan berhasil, manakala semakin banyak, dan semakin bertambah, diri-diri yang merdeka, jiwa-jiwa yang otentik, yang bebas menyalurkan daya budinya, diwadahi, diberikan sarana, dan diapresiasi. Diri yang merdeka, yang memiliki karakter yang kokoh, yang paham kehidupan, yang mengerti bagaimana kehidupan mesti dijalani, yang tunduk pada akal sehat dan nurani. Diri merdeka seperti ini, sudah jelas tidak materialistis, kebal suap, tidak nyontek saat ujian, tidak nyogok agar bisa menjadi pejabat atau pegawai, dan pastinya jika diri-diri yang merdeka ini menjadi entitas terbesar bangsa ini, maka tidak perlu lagi adanya KPK, sehingga tidak perlu lagi berebut kasus.

Saya berharap besar pada pemerintah, tapi jika pun pemerintah tidak bisa lagi diharapkan, saya berharap kepada kaum media dan cendikia universitas, kalaupun sudah tidak ada harapan pada keduanya, saya taruh harapan itu disetiap kata dalam tulisan ini, agar para pembaca bisa mengambil harapan yang saya letakkan itu, untuk kemudian mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan, paling tidak memerdekakan diri mereka sendiri.

Selamat hari kemerdekaan; kemerdekaan diri kita sendiri!

Muhammad Zainur Rakhman Mantyasih
Penulis Buku Konsep Iman Dalam Cinta dan Kasih (Mantyasih)—Buku Spiritual Motivasi Abad ini.


Senin, 03 September 2012

Kebudayaan Sejati; Sejatinya Kebudayaan

“Kita terperangkap dalam sekat yang kita buat sendiri. Untuk kebudayaan, kita telah memenjarakannya dalam jeruji bernama melestarikan tradisi.”

Watak masyarakat jawa yang sangat menghormati leluhur, bisa jadi merupakan kebanggaan yang tak ada duanya. Orang jawa begitu tertanamkan dengan falsafah mikul dhuwur mendem jero, yakni bagaimana menghargai, menelusuri, dan melestarikan setiap jejak yang telah ditempuh oleh para pendahulunya. Dalam sebuah perspektif moral, ini sesuatu yang sangat positif. Meski jika kita tidak bisa mendudukkan dalam hakekat kesejatian, maka hal ini menjadi fatal niscaya.
Kebudayaan, adalah sebuah proses batin dalam memandang dan merespon dunia lahir, dalam bingkai sangkan paran pengetahuan kasampurnan. Sangkan paran bermakna dari mana, akan kemana, sehingga mengetahui harus bagaimana; pengetahuan kasampurnan adalah pengetahuan tentang totalitas keseluruhan, dan bagaimana segala sesuatu terhubung menjadi satu. Bingkai tersebut seperti sebuah emban yang melingkari mata cincin, bernama cipta, rasa, dan karsa. Gampangnya, cipta adalah pikiran batin, rasa adalah emosi batin, dan karsa adalah kehendak batin. Ketiganya bergerak dan saling memengaruhi, membentuk jagad batin setiap manusia. Jika bingkainya kuat, embannya kokoh, maka mata cincin akan seimbang dan memancar, inilah yang disebut budi. Sebaliknya, jika embannya rusak, logro, tidak kuat mencengkram, maka mata cincin akan mudah goyah, hilang keseimbangan, bahkan bisa terlepas, menggelinding entah kemana. Dari sinilah konsepsi kebudayaan seharusnya dipahami.
Para leluhur, adalah manusia-manusia yang berbudi, bukan dalam arti memiliki sopan santun, atau menaati norma. Budi adalah kondisi batin yang tercerahkan, sehingga mampu memberikan pencerahan pada sekeliling, menghasilkan wujud-wujud budaya. Para leluhur, mengetahui betul, sangkan paran pengetahuan kasampurnan, sehingga dalam melihat serta merespon keadaan pada zamannya, mereka mampu membentuk sebuah tatanan yang indah, yang agung, yang dipenuhi keharmonisan. Intinya, mereka berhasil menyelenggarakan sebuah kehidupan yang dipenuhi cita rasa, damai, dan tentram.
Bagaimana dengan masyarakat zaman ini? Pada umumnya, kita memahami kebudayaan sebatas pelestarian tradisi, atau penyelenggaraan ritual klasik. Apa yang dahulu dihasilkan oleh leluhur, ditelan bulat-bulat, atau paling tidak diberikan modifikasi eklektik seperti mencampur warna hitam dan putih, tanpa dasar filosofis yang kuat. Kita merasa sudah berbudaya, jika sudah memakai pakaian adat, belajar tari-tari tradisional, musik tradisional, memakan makanan tradisional, dan berperan seolah hidup pada masa lampau. Kita lupa, bahwa yang paling penting adalah warisan leluhur berupa pemahaman terhadap sangkan paran pengetahuan kasampurnan. Sehingga kita juga bisa memilliki budi sebagaimana leluhur kita, dan mampu menggunakan budi tersebut untuk merespon keadaan kekinian, serta mampu menghasilkan wujud-wujud budaya baru yang secara total adalah sebuah proses dari jagad batin yang tercerahkan. Kehidupan adalah saat ini. inilah zaman kita, sebuah panggung waktu yang mesti kita isi dengan pertunjukan terindah. Sekali lagi, bukan harus seperti masa yang dulu. Para leluhur sudah menyelenggarakan pertunjukkan terbaik mereka dipanggung waktu mereka. Saatnya lah bagi kita, untuk membuat sebuah pertunjukkan untuk panggung kita, sekarang.

Kebudayaan, Adalah Sebuah Titik Awal, Serta Titik Tolak

Tugas kita saat ini, adalah menyelenggarakan kehidupan. Membuat sebuah pertunjukan terindah pada panggung waktu kita. Pertama-tama, kita harus mampu menjadi manusia yang berbudi, artinya menjadi manusia yang memahami sangkan paran pengetahuan kasampurnan. Kita mesti secara rutin merenungi awal keberadaan kita, dan mengingat akhir keberadaan, serta mengetahui bagaimana hakekat keberadaan. Komunikasi batin yang intens merupakan kegiatan yang mesti kita lakukan setiap saat. Saat kita memulainya, dan secara terus menerus menekuninya, kita akan menyadari bahwa batin memiliki suara, batin ternyata dapat berbicara. Semakin kuat dan terbiasa dengan komunikasi tersebut, maka batin akan memandu kita, menuntun kita untuk melakukan tarian terindah pada panggung kehidupan kita.
Kedua, kita mesti memahami bahwa kebudayaan adalah sebuah proses yang berlangsung terus menerus, selalu dinamis, sebagaimana jiwa kita juga setiap saat melakukan gerak menuju sesuatu: yang baik, yang benar, yang indah, yang agung, yang sederhana. Memang sayangnya, kita selalu menghadang, menghalang-halangi, dan membelokkan gerak jiwa kita, karena apa? Karena ketakutan kehilangan materi, kehilangan sesuatu yang sifatnya lahir dan bendawi. Yang baik, yang benar, yang indah, yang agung, dan yang sederhana adalah sesuatu yang tak lagi memerlukan definisi, karena mereka begitu mudah dikenali, begitu dekat dengan diri kita. Kita sering tergoda untuk memberikan definisi bagi mereka, pasti saat kita berusaha mencari-cari alasan pembenaran dari tindakan dan keputusan yang kita ambil, untuk menyembunyikan ketakutan kita yang sebenarnya. Dengan demikian, pelestarian kebudayaan, bukan bermakna mengulang-ulang wujud-wujud budaya masa lalu, melainkan mengambil spirit darinya dan menghidupkannya kembali dalam wujud-wujud budaya yang baru, secara dinamis dan terus menerus.
Selanjutnya, saat kita memahami budaya dalam konsepsi manusia yang memiliki budi, yang bertugas menyelenggarakan kehidupan, maka kita akan mendudukkan kebudayaan sebagai titik awal, dan titik tolak segala sesuatu. Aspek-aspek kehidupan yang lainnya, seperti ekonomi, politik, pendidikan, hukum, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta yang lainnya, mesti bertolak dari budaya, bertolak dari manusia yang tercerahkan, bertolak dari pencerahan-pencerahan batin. Karena jika tidak, maka artinya tidak memiliki landasan. Jika tidak memiliki landasan, maka hanya menyebabkan kerusakan dan kerusakan, masalah dan masalah, tanpa henti. Berputar-putar dalam lingkaran kegelapan.
Pertanyaan untuk kita semua: siapkah diri kita meninjau ulang, membongkar pasang, mengawali segalanya kembali dengan berusaha menjadi manusia yang memiliki budi, dan menghasilkan wujud-wujud budaya, untuk mementaskan pertunjukkan terindah dan agung pada panggung waktu kita?
Jika kita menginginkan kehidupan yang damai dan tentram, kehidupan yang ruhnya menyala, seimbang dan harmonis, maka kita harus menyiapkan diri kita untuk kembali kepada budaya. Budaya dalam arti daya budi, kekuatan batin yang tercerahkan, yang selalu bergerak menuju yang baik, yang benar, yang indah, yang agung, dan yang sederhana.
Satu hal yang sebenarnya menjadi inti pesan dari semua itu, yang sangat mudah dipahami. Marilah kita pegang dengan kuat, akal sehat dan nurani. Itu saja. Itulah kebudayaan sejati, sejatinya kebudayaan.

Muhammad Zainur Rakhman

Sabtu, 21 April 2012

Kimia Kebodohan

"Kebodohan sering menjadi akar permasalahan; masalahnya, kita selalu menebang pohon pada batangnya, lalu membiarkan akarnya."

Kebodohan tidaklah menjadi soal asal kita mau senantiasa belajar, mau untuk terbuka, dan membuka diri untuk masuknya sesuatu yang sama sekali baru. Karena pada dasarnya, kita akan selalu dalam keadaan bodoh yang baru tatkala kita mampu mengentaskan diri dari kebodohan yang lama. Kebodohan jenis ini sangatlah diperlukan untuk kemajuan dan peningkatan peradaban. Ketika seseorang mempelajari sesuatu, ia berangkat dari kebodohan terhadap sesuatu itu. Kesadarannya bahwa ada sesuatu untuk dipelajari, merupakan implikasi dari rasa bodoh yang disikapi dengan produktif. Tatkala ia berhasil mengatasi kebodohannya akan sesuatu itu, tiba-tiba realitas baru membentang dihadapannya, dan betapa banyak lembah yang harus ia jelajahi, menyelimuti semangatnya untuk bergerak dan terus menerus merasa bodoh, artinya selalu membuatnya merasa ada-ada saja yang mesti dipelajari. Terus menerus seperti itu, sampai batas yang tak terhingga. 

Tanpa ia sadari, semakin lama ia membiarkan rasa bodohnya itu, pada hakekatnya ia menjadi semakin pintar. Ia menjadi mampu melihat apa yang orang lain belum bisa melihatnya. Pendengarannya menjadi tajam, dan ia mampu menangkap isyarat-isyarat alam semesta, yang kebanyakan orang tuli terhadapnya. Pada sebuah titik kesadaran, ia kemudian mampu melihat dengan terang, bahwa ada yang salah dengan dunia. Ada yang salah dengan kehidupan yang biasa ia lihat disekelilingnya. Kenyataan itu, membuat ia semakin giat belajar, terus menerus menyusulkan pertanyaan kenapa dan bagaimana, apa dan siapa, serta dimana dan kemana. Terbentuklah jarak antara ia dengan sekelilingnya.

Betapa tidak, ia melihat sekeliingnya menjadi begitu berbeda. Ia merasa terkepung, dan lalu mengasingkan diri. 

Sekelilingnya juga mulai membuat pagar terhadap dirinya, karena betapa ia dianggap sesuatu yang aneh dan asing. Rupanya, tidak setiap orang menindaklanjuti rasa bodohnya. Rupanya kebanyakan manusia, merasa cukup pintar, memutuskan berhenti belajar, menutup buku mereka, dan menjadikannya pusaka yang selalu mereka gunakan untuk berbagai keperluan. Tidak ada masalah, karena memang kebanyakan seperti itu. Tidak jadi soal, karena menetapnya mereka pada kebodohan, dilakukan beramai-ramai.

Menjadi persoalan ketika, sekeliling itu dihadapkan pada ia yang selalu merasa bodoh. Menjadi sebuah masalah, ketika kebanyakan manusia yang sudah merasa cukup untuk tidak menambahkan apapun, berhadapan dengan ia yang mungkin satu-satunya, atau segelintir yang terus menerus belajar tanpa kehendak menutup bukunya atau pun termuseumkannya sebuah pena. Awal mula pertarungan bagi sebuah sisi, dan titik awal perjuangan bagi sisi yang lainnya. Faktanya, ada banyak dari segelintir pejuang itu yang kalah, dan tidak sedikit yang berbalik arah. Yang tetap bertahan, tentunya ia yang pilihan. Yang akan memenangkan perjuangan, atau mati dalam kemuliaan.

Kisah-kisah mereka selalu menjadi legenda, kenangan terhadap mereka selalu menjadi semangat para pejuang pada generasi setelahnya. Nuh yang membuat perahu, Ibrahim yang dibakar, Musa yang terusir, Yusuf yang dipenjara, Yahya dan Zakaria yang terbunuh dalam kemuliaan.

Inilah sebuah perwujudan dari kimia kebodohan. Ada unsur-unsur yang senantiasa membuat manusia merasa bodoh. Air membuat manusia dingin, angin membuat manusia kering, api membuat manusia panas, dan tanah membuat manusia lembab; keempatnya saling bereaksi di alam semesta, dan di dalam tubuh manusia. Reaksi kimiawi inilah yang membuat manusia merasa bodoh, dan terus menerus belajar. Perpaduan yang tepat dan seimbang dari empat unsur yang salah satunya tidak mendominasi yang lainnya. 

Perpaduan ini ternyata dikondisikan oleh sikap-sikap bawaan, diantaranya kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kesederhanaan. Kesetiaan terhadap empat hal tersebut membuat seseorang terus menerus merasa bodoh, sehingga ia selalu belajar dan belajar tanpa akhir. Kempatnya seimbang dan tidak saling mendominasi. Keindahan yang tidak berlebihan sehingga menutupi kesederhanaan, kebenaran yang tak berlebihan sehingga menutupi kebaikan, atau kesederhanaan yang tak berlebihan sehingga menutupi kebenaran. Sehingga reaksi kimia yang terjadi, membentuk pola-pola pembelajar atau apa yang disebut ramuan keabadian, atau batu filsuf.

Memang, hanya sedikit yang memilikinya. Sebagaimana hanya sedikit mereka yang mencabut pohon hingga sampai akar-akarnya. 

Yang sedikit itulah yang harus terus menerus berjuang, dan yang sedikit itulah yang mesti menang, atau Tuhan memutuskan yang lainnya.

Biarlah ini menjadi rahasia al kimia yang abadi.


Tentang Kebebasan

“Keadaan bebas sendiri tidak akan pernah ada; karena ontologi bebas pada dasarnya selalu diiringi ketidakbebasan.”

Kebebasan kerap menjadi alasan setiap orang untuk melakukan apa diinginkannya. Kebebasan disebut-sebut sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam tata normatifnya, disebutkan pula bahwa kebebasan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Artinya, kebebasan yang bukan seenaknya, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab. Norma tersebut bisa dikatakan sangat bijak, namun pada hakikatnya memiliki kelemahan fatal dalam maksud yang dikandungnya. Secara kasar, bisa dikatakan ungkapan semacam itu merupakan ungkapan retoris kaum sofis yang tidak lepas dari kepentingan. Anda bisa saja mengatakan misal tentang kebebasan seseorang yang sangat menyukai musik keras, dibatasi oleh hak kebebasan tetangganya yang ingin beristirahat. Lalu terciptalah earphone, dimana Anda bisa menyetel sekeras apapun volume yang Anda inginkan, sementara tetangga Anda juga bisa beristirahat dengan tenang. Jalan tengah semacam ini sungguh pun bisa menggambarkan kebebasan yang bertanggungjawab, namun belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Apa ukuran yang mendasari pengorbanan seseorang dengan mengurangi sedikit haknya, sementara orang lain tidak melakukan secuil pun pengorbanan? Kenapa bukan tetangga itu yang menggunakan penutup telinga agar suara musik tidak sampai mengganggu istirahatnya? Atau sama-sama, yang satu menggunakan earphone, yang tetangga menggunakan sumbat telinga? Terasa menggelikan bukan? Apa artinya? Kita tidak bisa menggunakan dalih kebebasan untuk sesuatu yang kita inginkan. Setiap hak kebebasan kita, pasti menimbulkan potensi pelanggaran hak kebebasan orang lain. Pada akhirnya kita menggunakan norma umum yang membatasi kebebasan, yang disebut norma kepantasan. Dalam hal ini, sesuatu yang disebut penguasaan mayoritas atas minoritas tak dapat dielakkan. Disinilah wilayah kerja kaum sofis untuk menentukan apa-apa yang pantas, dan apa-apa yang tidak pantas. Kaum sofis itu bisa berwujud ormas besar, agama, adat istiadat, bahkan pemerintah. Tentu saja, hal tersebut berarti pendangkalan besar-besaran terhadap kebenaran sejati. Kenapa demikian? Tidak ada klaim, bahwa pendapat terbanyak selalu lebih mengandung kebenaran dari pendapat yang minoritas. Seseorang yang berpendidikan barat, bisa disebut tidak sopan tatkala kentut ditengah-tengah keluarganya yang sangat njawani. Padahal hal itu tidak melanggar apapun dari norma yang ia yakini selama ini. Oke lah, kita bisa menyebut kaidah satu lagi, yakni empan papan, yakni pandai menempatkan posisi. Seseorang hendaknya empan papan, harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Meskipun terbiasa dengan norma barat, kalau berada di dalam masyarakat ketimuran, ya jangan berani-berani menggunakan norma barat. Tetapi kalau dibalik, apakah orang timur boleh melepas identitas ketimurannya ketika bergaul dengan masyarakat yang menggunakan norma barat? Jawabannya pasti: tidak. Tidak ada kaidah empan papan, kaidah yang digunakan adalah mikul dhuwur mendem jero, seseorang tidak boleh melepaskan adat-istiadat yang diwariskan oleh para leluhur, norma-norma yang adiluhung tidak boleh ditinggalkan hanya karena takut dikatakan kuno. Disini kemudian terjadi kastanisasi norma. Ada norma rendah, ada norma yang tinggi. Pada intinya kita tidak bisa menggunakan dalih mayoritas untuk menentukan kebenaran suatu hal. Sehingga, dasar kepantasan tersebut juga tidak absah untuk membatasi kebebasan. Dengan demikian, menjadi tidak tepat jika kebebasan digunakan sebagai alasan kita untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan. Kaidah bahwa manusia memiliki kebebasan, telah mati. Bahkan kematian manusia sendiri, telah mengajarkan betapa kita telah tidak bebas, karena mati bukanlah pilihan dimana seseorang bisa mengatakan ya atau tidak, kematian adalah keniscayaan. Selanjutnya, jika dikatakan bahwa kebebasan tidak ada, maka tidak ada yang bisa disebut hak asasi manusia. Kenapa bisa begitu? Hak asasi manusia pada dasarnya adalah kata lain untuk kebebasan. Manusia merasa memiliki hak yang ditentukan oleh dirinya sendiri, bahwa dirinya punya hak. Jelas, ini tidak sahih. Jika manusia dikatakan memiliki hak untuk hidup, maka dia berhak pula untuk mati, namun, mati sekali lagi bukan hak, mati adalah sesuatu yang tidak bisa dipilih dan ditentukan oleh manusia. Seseorang yang ingin bunuh diri, lalu dia memutuskan untuk terjun dari sebuah jembatan, namun tiba-tiba sebelum mencapai jembatan, sebuah mobil menabraknya hingga tewas, apakah bisa dikatakan dia mati dengan cara yang dipilihnya? Tentu saja tidak. Bahkan bisa saja, setelah seseorang memutuskan mati dengan cara terjun dari sebuh jembatan, tetap hidup karena ada seseorang yang menolongnya. Hal ini berarti, mati bukanlah hak manusia. Demikian pula, apakah ada manusia yang memutuskan sendiri bahwa ia akan lahir ke dunia? Tentu tidak. Hal ini berarti, hidup bukanlah merupakan haknya. Dan bahkan, hak sendiri tidak dapat disematkan pada manusia. Manusia tidak memiliki hak apapun, kecuali kesombongannya selama ini yang kemudian menentukan sendiri bahwa dirinya punya hak. Satu-satunya yang dimiliki manusia adalah kewajiban, bahwa ia harus tunduk kepada sesuatu yang telah membuatnya lahir ke dunia, sesuatu yang membuatnya bisa berbicara, sesuatu yang menyediakan segala macam kebutuhannya, dan sesuatu yang pada saatnya nanti, memutuskan bahwa ia harus mati. Sesuatu itu pula lah yang memutuskan kapan dunia ini akan berakhir. Jika manusia merasa memiliki kehendak, sadarlah bahwa kehendaknya dibatasi oleh sesuatu tersebut. Ada yang mengatur semua permainan di alam jagad ini. Klaim bahwa seseorang bisa melakukan apapun yang ia kehendaki adalah klaim penuh gegabah dan sarat kedunguan. Manusia harus menerima sesuatu itu, suka atau tidak suka. Manusia harus menerima Tuhan; sesuatu yang pasti disebut ketika seseorang berada dipuncak penderitaan. Bagaimana menerimanya? Sesungguhnya ia lebih dekat dari urat leher Anda. Kita tidak perlu mencarinya kemana-mana, kita hanya perlu melihat ke kedalaman diri yang disebut nurani. Hati kita sama-sama mengangguk, memuliakan kejujuran, kerendahan hati, kesucian, kedermawanan, dan ketulusan. Kendati pun kita seringkali tidak jujur, berlaku sombong dan semena-mena, hidup dalam kubangan kehinaan, kikir dan serakah, serta pamrih dalam setiap perkataan dan perbuatan kita. Apapun agama dengan kitab suci yang berbeda-beda, pada dasarnya menuju kepada penemuan kita akan Tuhan. Pada saat kita menemukan Nya, saat itulah kita akan mendapatkan kebebasan yang sejati. Jangan melandaskan perbuatan kepada kebebasan apalagi hak asasi, namun landaskan lah kepada nurani. Ketika nurani Anda mengatakan 'Ya', maka perbuatan tersebut akan ditemani dan dibantu oleh Tuhan. Tandanya adalah ketenangan dan kedamaian, serta meningkatnya rasa cinta kasih kepada setiap hal. Pertanyaan besar yang kemudian menguak adalah, apakah Anda masih memiliki nurani? Atau Anda hanya memperturutkan naluri?

Sungguh, ketika seseorang memutuskan untuk tidak bebas (bersama Tuhan), ia akan mendapatkan kebebasan. Sebaliknya, jika ia memilih kebebasan dengan meninggalkan Tuhan, maka kebebasan itu sendiri yang menjeratnya sehingga ia tidak bebas. Bukankah Budha mengatakan, ” kosong adalah berisi, berisi adalah kosong?”, barangsiapa merasa kosong, maka Tuhan akan mengisinya, barangsiapa merasa isi, maka sebenarnya ia kosong. Bebaskan dirimu dengan tidak menjadi bebas!

Tontonan Amarah dan Budaya Baca Kita

“Selain untuk menunjukkan kekuasaan; amarah pada dasarnya adalah untuk menutupi ketidakberdayaan.”

Kekuasaan yang dimiliki oleh orang yang sedang marah, adalah kekuasaan yang begitu lemah. Baik lemah atas kuasa dirinya, juga lemah atas kuasa dunia sekitarnya, terutama yang menjadi sasaran kemarahan. Ketidaksesuaian antara ide dan realita, dibarengi sebuah solusi berkabut atau penyebab-penyebab yang bercampur dengan rumit menjadi titik pemberangkatan sebuah kemarahan. Kita bisa melihat betapa sulit seseorang yang sedang marah untuk mengatasi getaran tubuhnya, kontrol suara, bahkan ketepatan kata-katanya. Seringkali kemarahan yang diperlihatkan seseorang merupakan tontonan yang sangat lucu dan menggelikan. “Kenapa terjadi seperti ini?” adalah ungkapan yang menjadi titik berat dalam kegiatan kemarahan. Ketidakpuasan akan sesuatu, yang ditindaklanjuti dengan sikap-sikap seperti mengecam, mengutuk, mengamuk, dan berbagai tindakan kontraproduktif lainnya adalah manifestasi dari sistem kehewanan yang dimiliki manusia sebagai bentuk pertahanan diri yang paling dasar. Pada dasarnya, semua itu merupakan cermin dari ketidakberdayaan dalam menghadapi realitas.

Realitas bagi sebagian orang adalah sebuah ruang yang harus sesuai dengan idealismenya. Diri sebagai gudang ide ditahbiskan sebagai pusat realitas. Semuanya harus mengikuti, 'apa mau saya'. Sehigga benarlah bahwa kemarahan berbanding lurus dengan ego.

Ego dan Id

Setiap manusia memiliki ego. Ego adalah serangkaian logos yang ia temukan pada perjalanan hidupnya, dalam spektrum id. Id adalah naluri murni manusia pada masa-masa awal kehidupan yang berkaitan dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Id terpusat pada kegiatan makan minum dan turunannya. Id pada masa kanak-kanak tidaklah hilang seiring beranjak dewasanya seseorang. Id menjadi semacam paradigma dalam pembentukan ego--disinilah alasan, betapa penting pendidikan anak usia dini. Perlakuan yang diberikan orang tua sebagai reaksi terhadap id anak, membekas dalam gurat-gurat yang dalam. Seseorang yang pada masa kanak-kanaknya dibesarkan dengan cacian, makian, paksaan, dan minim penghargaan lebih cenderung untuk mengembangkan sifat amarah daripada orang-orang yang dibesarkan dengan kasih sayang, pujian, dorongan positif, dan kelembutan.

Orang-orang yang dididik dalam nuansa amarah, kecemasan, dan ketakutan-ketakutan hidup memiliki semacam cetak biru id yang penuh dengan robekan. Dalam interaksinya dengan individu yang lain, id membentuk ego yang kaku, keras, dan penuh motif untuk menguasai dan mengalahkan. Logos yang dia temukan sarat dengan keakuan dan keterpecahan. Sehingga, realitas yang ia pahami adalah realitas yang terserak dan timpang. Kesalahpahaman dalam mengerjap realitas membuat jiwanya semakin tertekan, setiap hari hanya dipenuhi dengan ketidakberesan yang memuakkan. Kesalahan sedikit dari seseorang bisa merupakan dosa besar yang tak terampuni. Bahkan, hal yang wajar bagi sebagian besar manusia, bisa menjadi suatu kesalahan fatal dalam pandangannya. Logos-logos yang tersusun berantakan dalam dirinya menampilkan alasan-alasan kacau dan tidak nyambung. Parahnya, orang-orang dengan potensi ego yang kuat, seringkali tidak mau menyadari, bahkan semakin giat dan gemar mengembangkannya. Kemarahan menjadi suatu kebanggaan. Akibatnya, dia akan semakin kehilangan dirinya. Ego akan bertahan dan tak pernah beranjak pada tingkat berikutnya yakni, super ego.

Super ego

Super ego pada hakikatnya adalah ego yang telah mengalami kekalahan. Bukan dalam arti negatif-positif, akan tetapi sebuah keadaan dimana pemahamannya akan realitas sudah semakin baik. Ego telah tunduk kepada sebuah kuasa lain yang mengatur segalanya. Kesadaran penerimaan ego inilah yang menjadikan ego lebih matang dan dewasa. Seseorang tidak lagi bertanya, “kenapa aku gagal?”, namun sudah mulai beranjak, “seseorang pasti pernah gagal, namun harus selalu berusaha untuk bangkit kembali”. Ketenangan ego dalam menyadari bahwa 'diri' bukanlah pusat dari segalanya merupakan perkembangan normal ego, seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Syaratnya hanya satu; harus mau belajar. Paradigma kehidupan sebagai sebuah pembelajaran tiada henti akan membuat ego seseorang berkembang ke arah yang semestinya, yakni super ego. Terkadang usia memang tidak menjadi patokan perkembangan ego seseorang. Ada orang yang usianya sudah tua, namun memiliki ego yang demikian kuat, amarah yang seringkali terhambur semena-mena. Disisi lain, ada seseorang yang jauh lebih muda, mampu menunjukkan ketenangan dan pengendalian diri yang kuat, pada saat orang-orang yang lebih tua, ramai-ramai marah, mengutuk, mengecam, dan menyalahkan situasi. Sekali lagi, hal ini terletak pada kemauan masing-masing individu untuk belajar, dan memahami hidup sebagai proses pembelajaran tiada henti. Artinya, sebuah kemauan untuk menjadi manusia pembelajar seumur hidup. Kemauan untuk senantiasa melatih potensi berfikirnya, akal sehatnya, mendengarkan dengan seksama nuraninya, dan kemampuan membedakan mana dorongan yang benar-benar mendatangkan perbaikan, dan mana dorongan yang hanya berfungsi sebagai pemuas hawa nafsu belaka. Imam Ali, salah seorang Pemimpin pengganti Nabi Muhammad SAW, berkata, bahwa anugrah terbesar bagi seseorang adalah kesempurnaan akal. Karena kesempurnaan akal akan membantu seseorang memenangkan bisikan nurani atas insting-insting hewaninya. Itulah kenapa, orang-orang yang terbiasa dengan tradisi intelektual seringkali terlihat lebih matang dan mampu mengendalikan dirinya, daripada orang-orang yang dalam hidupnya hanya berkutat dalam permasalahan perut dan sesuatu dibawahnya. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan bahwa hal yang paling dasar untuk dilakukan dalam usaha menuju bangsa yang besar adalah membentuk tradisi intelektual. Dan hal itu dimulai dari budaya membaca. Sebagaimana Tuhan telah menurunkan kitab suci untuk dibaca oleh manusia--apa pentingnya? Karena Tuhan tahu, iblis tidak gemar membaca. Jika iblis mampu membaca, niscaya dia akan bersujud kepada Adam. Tentunya, Iblis tidak akan demikian bodoh menghabiskan umurnya untuk menyesatkan manusia.

Jadi, ketika, banyak tontonan amarah dinegeri ini, yakinlah bahwa itu semua ada hubungannya dengan membaca. Yakinlah bahwa koruptor-koruptor itu tidak gemar membaca, mahasiswa yang suka mengamuk dan tawur itu pastilah bukan kutu buku, wakil-wakil rakyat yang tidak memperjuangkan rakyat pasti tidak punya perpustakaan pribadi dan kegiatan rutin membaca buku. Apalagi? Keterpurukan negeri ini boleh jadi karena kita menyepelekkan hal yang kita anggap kecil, yakni pemberantasan buta aksara, dan budaya gemar membaca.

Kapan kita mulai gerakan tradisi intelektual? Saat ini, saat Anda ingin memberikan hadiah ultah untuk anak Anda, belikanlah dia buku. Barangkali, anak Anda tidak akan terlalu sering bandel dan ngembek.