Sabtu, 21 April 2012

Kimia Kebodohan

"Kebodohan sering menjadi akar permasalahan; masalahnya, kita selalu menebang pohon pada batangnya, lalu membiarkan akarnya."

Kebodohan tidaklah menjadi soal asal kita mau senantiasa belajar, mau untuk terbuka, dan membuka diri untuk masuknya sesuatu yang sama sekali baru. Karena pada dasarnya, kita akan selalu dalam keadaan bodoh yang baru tatkala kita mampu mengentaskan diri dari kebodohan yang lama. Kebodohan jenis ini sangatlah diperlukan untuk kemajuan dan peningkatan peradaban. Ketika seseorang mempelajari sesuatu, ia berangkat dari kebodohan terhadap sesuatu itu. Kesadarannya bahwa ada sesuatu untuk dipelajari, merupakan implikasi dari rasa bodoh yang disikapi dengan produktif. Tatkala ia berhasil mengatasi kebodohannya akan sesuatu itu, tiba-tiba realitas baru membentang dihadapannya, dan betapa banyak lembah yang harus ia jelajahi, menyelimuti semangatnya untuk bergerak dan terus menerus merasa bodoh, artinya selalu membuatnya merasa ada-ada saja yang mesti dipelajari. Terus menerus seperti itu, sampai batas yang tak terhingga. 

Tanpa ia sadari, semakin lama ia membiarkan rasa bodohnya itu, pada hakekatnya ia menjadi semakin pintar. Ia menjadi mampu melihat apa yang orang lain belum bisa melihatnya. Pendengarannya menjadi tajam, dan ia mampu menangkap isyarat-isyarat alam semesta, yang kebanyakan orang tuli terhadapnya. Pada sebuah titik kesadaran, ia kemudian mampu melihat dengan terang, bahwa ada yang salah dengan dunia. Ada yang salah dengan kehidupan yang biasa ia lihat disekelilingnya. Kenyataan itu, membuat ia semakin giat belajar, terus menerus menyusulkan pertanyaan kenapa dan bagaimana, apa dan siapa, serta dimana dan kemana. Terbentuklah jarak antara ia dengan sekelilingnya.

Betapa tidak, ia melihat sekeliingnya menjadi begitu berbeda. Ia merasa terkepung, dan lalu mengasingkan diri. 

Sekelilingnya juga mulai membuat pagar terhadap dirinya, karena betapa ia dianggap sesuatu yang aneh dan asing. Rupanya, tidak setiap orang menindaklanjuti rasa bodohnya. Rupanya kebanyakan manusia, merasa cukup pintar, memutuskan berhenti belajar, menutup buku mereka, dan menjadikannya pusaka yang selalu mereka gunakan untuk berbagai keperluan. Tidak ada masalah, karena memang kebanyakan seperti itu. Tidak jadi soal, karena menetapnya mereka pada kebodohan, dilakukan beramai-ramai.

Menjadi persoalan ketika, sekeliling itu dihadapkan pada ia yang selalu merasa bodoh. Menjadi sebuah masalah, ketika kebanyakan manusia yang sudah merasa cukup untuk tidak menambahkan apapun, berhadapan dengan ia yang mungkin satu-satunya, atau segelintir yang terus menerus belajar tanpa kehendak menutup bukunya atau pun termuseumkannya sebuah pena. Awal mula pertarungan bagi sebuah sisi, dan titik awal perjuangan bagi sisi yang lainnya. Faktanya, ada banyak dari segelintir pejuang itu yang kalah, dan tidak sedikit yang berbalik arah. Yang tetap bertahan, tentunya ia yang pilihan. Yang akan memenangkan perjuangan, atau mati dalam kemuliaan.

Kisah-kisah mereka selalu menjadi legenda, kenangan terhadap mereka selalu menjadi semangat para pejuang pada generasi setelahnya. Nuh yang membuat perahu, Ibrahim yang dibakar, Musa yang terusir, Yusuf yang dipenjara, Yahya dan Zakaria yang terbunuh dalam kemuliaan.

Inilah sebuah perwujudan dari kimia kebodohan. Ada unsur-unsur yang senantiasa membuat manusia merasa bodoh. Air membuat manusia dingin, angin membuat manusia kering, api membuat manusia panas, dan tanah membuat manusia lembab; keempatnya saling bereaksi di alam semesta, dan di dalam tubuh manusia. Reaksi kimiawi inilah yang membuat manusia merasa bodoh, dan terus menerus belajar. Perpaduan yang tepat dan seimbang dari empat unsur yang salah satunya tidak mendominasi yang lainnya. 

Perpaduan ini ternyata dikondisikan oleh sikap-sikap bawaan, diantaranya kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kesederhanaan. Kesetiaan terhadap empat hal tersebut membuat seseorang terus menerus merasa bodoh, sehingga ia selalu belajar dan belajar tanpa akhir. Kempatnya seimbang dan tidak saling mendominasi. Keindahan yang tidak berlebihan sehingga menutupi kesederhanaan, kebenaran yang tak berlebihan sehingga menutupi kebaikan, atau kesederhanaan yang tak berlebihan sehingga menutupi kebenaran. Sehingga reaksi kimia yang terjadi, membentuk pola-pola pembelajar atau apa yang disebut ramuan keabadian, atau batu filsuf.

Memang, hanya sedikit yang memilikinya. Sebagaimana hanya sedikit mereka yang mencabut pohon hingga sampai akar-akarnya. 

Yang sedikit itulah yang harus terus menerus berjuang, dan yang sedikit itulah yang mesti menang, atau Tuhan memutuskan yang lainnya.

Biarlah ini menjadi rahasia al kimia yang abadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..