Rabu, 12 September 2012

Kemerdekaan Diri; Sebuah Kemerdekaan Budaya


“Politik membangun dari atas, budaya membangun dari bawah. Politik membuat suatu kerangka, budaya yang mengisi massa di dalamnya.”

Kemerdekaan silam, tahun 45, adalah kemerdekaan jenis kemerdekaan politik. Kita resmi secara politik, menjadi sebuah negara. Kita punya kedaulatan untuk memerintah dan menentukan nasib kita sendiri. Bangsa—sebuah istilah budaya—telah bertransformasi menjadi negara—suatu bentuk lembaga super politik.

Ada yang unik dalam hal ini. Sebuah transformasi dari bangsa menuju negara, selalu dalam tujuan memperkuat entitas bangsa. Proses transformasi menjadi negara, biasanya dilakukan oleh sebuah bangsa yang entitas kebangsaannya sudah demikian kuat dan terhimpun berabad-abad.

Indonesia, adalah kasus unik. Proses menjadi bangsa dan negara, dilakukan bersama-sama, sekaligus. Tidak ada yang bisa disebut bangsa Indonesia sebelum entitas yang terkenal dengan nusantara ini diinvasi oleh kekuatan asing. Kita menjadi bangsa, bersamaan dengan kita menjadi negara. Sumpah pemuda dan budi utomo, tidak bisa disebut tonggak-tonggak bangsa, melainkan lebih tepatnya tonggak-tonggak politik kebangsaan. Sumpah pemuda dan budi utomo, tidak melahirkan kesatuan budaya yang teruji berabad-abad. Sumpah pemuda dan budi utomo merupakan usaha membangun kesatuan budaya sebagai persiapan berdirinya sebuah negara. Inilah yang dimaksud, bahwa proses kita menjadi bangsa, bersamaan dengan usaha kita menjadikan adanya sebuah negara. Artinya, tenggang waktu untuk pematangan sebuah bangsa, terlalu cepat—kalau tidak dikatakan dipaksakan—melalui kharisma seorang Soekarno, yang dengan kepercayaan diri tinggi, mengatakan bahwa beliau menggali Pancasila dari lubuk terdalam bangsa yang hidup berabad-abad di kepulauan nusantara.

Namun, toh bangsa ini bisa berdiri, bisa menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah uniknya, meski akibat dari masak terlalu cepat tersebut, menjadikan kita senantiasa ‘berguncang’ berkali-kali. Korbannya tentu saja dari yang paling atas hingga yang paling bawah.  Dalam sejarah bangsa ini, tidak ada satu pun pemimpin yang ‘selamat’. Semua turun tanpa kehormatan. Oleh siapa? Ya oleh bangsa kita sendiri, dan dalam setiap pergantian kepemimpinan itu, tumbal darah, selalu saja tak bisa dihindarkan. Mudah-mudahan, untuk yang akhir-akhir ini, hal itu tidak terjadi. Inilah yang mesti kita bayar, dari apa yang disebut masak terlalu cepat. Lantas bagaimana? Tentu saja, tulisan ini bukan untuk menggunggat soal matang mematangkan, tapi tentang sebuah penyadaran, bahwa kita semua mesti menyadari, ‘keunikan’ kita.

Politik, Membangun Kerangka; Budaya, Mengisi Massa Bangunannya

Kesadaran bahwa bangsa ini matang terlalu cepat, harusnya membuat kita insaf, sehingga kita menjadi tahu, langkah apa yang semestinya kita ambil dan kita prioritaskan. Ya, kita sudah punya kerangka. Indonesia sudah punya beton-beton bertulang, yang selalu saja sibuk kita format ulang, bongkar pasang, sementara energi kita habis, kita sudah kelelahan, untuk memasang batu-batanya, mengaci, mengecat dinding-dindingnya, memasang atap dan plafon yang cantik, mengisi ruang-ruang dengan meubel dan furnitur, berkegiatan di dalamnya dengan penuh beradab. Sementara ini, kita masih berkegiatan, di dalam bangunan yang terdiri dari beton-beton bertulang, belum ada keramik, apalagi dinding, semua masih terbuka, sehingga kita mudah ‘masuk angin’. Dalam bangunan yang seperti itu, bagaimana mungin kita bisa beradab? Lihat saja, para pekerja bangunan yang berkegiatan dalam bangunan yang masih setengah jadi. Tanpa bermaksud merendahkan mereka, baju tidak perlu bagus, kata-kata tak perlu sopan, berkegiatan dalam debu dan panas.

Kita mesti mulai membangun budaya. Bangsa yang masak terlalu cepat ini, mesti kita matangkan kembali, untuk mengimbangi wajah kakunya sebagai sebuah negara. Negara memang harus berdasar hukum, sebagai konsekuensi politik yang logis. Tapi, sebuah bangsa, tidak boleh tidak, mesti berdasar pada budaya. Jika Indonesia terlalu berwajah negara, maka ia akan terlalu pasti. Terlalu pasti itu sangat berbahaya, karena menjadi sangat mudah dimanipulasi. Kepastian yang keterlaluan juga membuat kita bertangan dan berhati besi: gusur kaki lima, tidak sesuai undang-undang, undang-undang mengatakan begitu, itu wewenang kami, dan kalau sudah kepepet, tinggal katakan, marilah kita pegang teguh asas praduga tak bersalah. Aduhai, betapa keren?

Budaya tidak bisa dimanipulasi, karena wataknya yang dinamis dan tak pasti. Sastra itu multi tafsir, kesenian itu multiargumen. Inilah keseimbangan yang kita harapkan, bahkan mestinya lebih kita prioritaskan. Budaya memiliki kekuatan yang melebihi politik. Sebuah negara bisa saja hancur secara poltik, tapi, asalkan budayanya masih tegak, ia masih sangat kokoh sebagai bangsa. Celakanya, budaya pun telah kita politisasi. Politik itu kebijakan, sedangkan budaya itu kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak boleh diatur-atur oleh kebijakan. Bicara kebijakan, maka yang bermain adalah kepentingan, sedangkan bicara kebijaksanaan, maka itu adalah tentang nurani dan akal sehat. Kebijaksanaan harus di atas kebijakan. Sehingga, saya berani mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya, adalah negara budaya, karena kepercayaan terhadap tuhan dan spiritualitas itu budaya, kemanusiaan itu budaya, persatuan itu budaya, hikmat kebijaksanaan, apalagi kalau bukan budaya, dan jelas, keadilan sosial pastilah budaya.

Budaya adalah daya budi. Budi adalah pencerahan. Budaya hanya muncul dari orang-orang yang tercerahkan, yang nurani dan akal sehatnya begitu bebas dari kepentingan. Untuk memunculkannya, sarana-sarana yang meng-up grade akal sehat mesti diperbanyak, dana-dana untuk program yang bisa menggugah nurani mesti digelontorkan. Diskusi di media televisi dan cetak, aduh, please deh, tolong perbanyak mengenai budaya. Sediakan ruang yang cukup, dana yang memadai, kesempatan seluas-luasnya, untuk para budayawan berpentas dan memimpin jalannya peradaban. Hormati mereka melebihi kehormatan yang diberikan kepada para pejabat dan politisi. Mobil-mobil yang mewah itu, sita saja dari para menteri, hibahkan untuk para budayawan. Dan mestinya, dewan perwakilan rakyat itu, harusnya lebih dari separo, diisi oleh budayawan. Kenapa, kolom sastra hanya seminggu sekali? Kenapa tidak setiap hari kita tampilkan esai-esai budaya, sajak, dan cerpen, agar para pembaca merasakan gegar budaya setiap hari, sehingga mereka mampu mendidik anak-anak mereka dengan baik, bukan memukuli dan memaksakan setiap pendapat untuk anak –anak mereka patuhi secara buta. Ini mesti kita lakukan bersama-sama.

Tujuannya apa sih,

Kita bisa saja merdeka secara politik, dan dengan itu kita berhasil sebagai sebuah negara. Tapi, jika secara budaya, kita belum merdeka, kita sungguh gagal sebagai bangsa. Apa parameter kemerdekaan budaya? Kemerdekaan budaya dapat dikatakan berhasil, manakala semakin banyak, dan semakin bertambah, diri-diri yang merdeka, jiwa-jiwa yang otentik, yang bebas menyalurkan daya budinya, diwadahi, diberikan sarana, dan diapresiasi. Diri yang merdeka, yang memiliki karakter yang kokoh, yang paham kehidupan, yang mengerti bagaimana kehidupan mesti dijalani, yang tunduk pada akal sehat dan nurani. Diri merdeka seperti ini, sudah jelas tidak materialistis, kebal suap, tidak nyontek saat ujian, tidak nyogok agar bisa menjadi pejabat atau pegawai, dan pastinya jika diri-diri yang merdeka ini menjadi entitas terbesar bangsa ini, maka tidak perlu lagi adanya KPK, sehingga tidak perlu lagi berebut kasus.

Saya berharap besar pada pemerintah, tapi jika pun pemerintah tidak bisa lagi diharapkan, saya berharap kepada kaum media dan cendikia universitas, kalaupun sudah tidak ada harapan pada keduanya, saya taruh harapan itu disetiap kata dalam tulisan ini, agar para pembaca bisa mengambil harapan yang saya letakkan itu, untuk kemudian mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan, paling tidak memerdekakan diri mereka sendiri.

Selamat hari kemerdekaan; kemerdekaan diri kita sendiri!

Muhammad Zainur Rakhman Mantyasih
Penulis Buku Konsep Iman Dalam Cinta dan Kasih (Mantyasih)—Buku Spiritual Motivasi Abad ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..