Sabtu, 21 April 2012

Tontonan Amarah dan Budaya Baca Kita

“Selain untuk menunjukkan kekuasaan; amarah pada dasarnya adalah untuk menutupi ketidakberdayaan.”

Kekuasaan yang dimiliki oleh orang yang sedang marah, adalah kekuasaan yang begitu lemah. Baik lemah atas kuasa dirinya, juga lemah atas kuasa dunia sekitarnya, terutama yang menjadi sasaran kemarahan. Ketidaksesuaian antara ide dan realita, dibarengi sebuah solusi berkabut atau penyebab-penyebab yang bercampur dengan rumit menjadi titik pemberangkatan sebuah kemarahan. Kita bisa melihat betapa sulit seseorang yang sedang marah untuk mengatasi getaran tubuhnya, kontrol suara, bahkan ketepatan kata-katanya. Seringkali kemarahan yang diperlihatkan seseorang merupakan tontonan yang sangat lucu dan menggelikan. “Kenapa terjadi seperti ini?” adalah ungkapan yang menjadi titik berat dalam kegiatan kemarahan. Ketidakpuasan akan sesuatu, yang ditindaklanjuti dengan sikap-sikap seperti mengecam, mengutuk, mengamuk, dan berbagai tindakan kontraproduktif lainnya adalah manifestasi dari sistem kehewanan yang dimiliki manusia sebagai bentuk pertahanan diri yang paling dasar. Pada dasarnya, semua itu merupakan cermin dari ketidakberdayaan dalam menghadapi realitas.

Realitas bagi sebagian orang adalah sebuah ruang yang harus sesuai dengan idealismenya. Diri sebagai gudang ide ditahbiskan sebagai pusat realitas. Semuanya harus mengikuti, 'apa mau saya'. Sehigga benarlah bahwa kemarahan berbanding lurus dengan ego.

Ego dan Id

Setiap manusia memiliki ego. Ego adalah serangkaian logos yang ia temukan pada perjalanan hidupnya, dalam spektrum id. Id adalah naluri murni manusia pada masa-masa awal kehidupan yang berkaitan dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Id terpusat pada kegiatan makan minum dan turunannya. Id pada masa kanak-kanak tidaklah hilang seiring beranjak dewasanya seseorang. Id menjadi semacam paradigma dalam pembentukan ego--disinilah alasan, betapa penting pendidikan anak usia dini. Perlakuan yang diberikan orang tua sebagai reaksi terhadap id anak, membekas dalam gurat-gurat yang dalam. Seseorang yang pada masa kanak-kanaknya dibesarkan dengan cacian, makian, paksaan, dan minim penghargaan lebih cenderung untuk mengembangkan sifat amarah daripada orang-orang yang dibesarkan dengan kasih sayang, pujian, dorongan positif, dan kelembutan.

Orang-orang yang dididik dalam nuansa amarah, kecemasan, dan ketakutan-ketakutan hidup memiliki semacam cetak biru id yang penuh dengan robekan. Dalam interaksinya dengan individu yang lain, id membentuk ego yang kaku, keras, dan penuh motif untuk menguasai dan mengalahkan. Logos yang dia temukan sarat dengan keakuan dan keterpecahan. Sehingga, realitas yang ia pahami adalah realitas yang terserak dan timpang. Kesalahpahaman dalam mengerjap realitas membuat jiwanya semakin tertekan, setiap hari hanya dipenuhi dengan ketidakberesan yang memuakkan. Kesalahan sedikit dari seseorang bisa merupakan dosa besar yang tak terampuni. Bahkan, hal yang wajar bagi sebagian besar manusia, bisa menjadi suatu kesalahan fatal dalam pandangannya. Logos-logos yang tersusun berantakan dalam dirinya menampilkan alasan-alasan kacau dan tidak nyambung. Parahnya, orang-orang dengan potensi ego yang kuat, seringkali tidak mau menyadari, bahkan semakin giat dan gemar mengembangkannya. Kemarahan menjadi suatu kebanggaan. Akibatnya, dia akan semakin kehilangan dirinya. Ego akan bertahan dan tak pernah beranjak pada tingkat berikutnya yakni, super ego.

Super ego

Super ego pada hakikatnya adalah ego yang telah mengalami kekalahan. Bukan dalam arti negatif-positif, akan tetapi sebuah keadaan dimana pemahamannya akan realitas sudah semakin baik. Ego telah tunduk kepada sebuah kuasa lain yang mengatur segalanya. Kesadaran penerimaan ego inilah yang menjadikan ego lebih matang dan dewasa. Seseorang tidak lagi bertanya, “kenapa aku gagal?”, namun sudah mulai beranjak, “seseorang pasti pernah gagal, namun harus selalu berusaha untuk bangkit kembali”. Ketenangan ego dalam menyadari bahwa 'diri' bukanlah pusat dari segalanya merupakan perkembangan normal ego, seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Syaratnya hanya satu; harus mau belajar. Paradigma kehidupan sebagai sebuah pembelajaran tiada henti akan membuat ego seseorang berkembang ke arah yang semestinya, yakni super ego. Terkadang usia memang tidak menjadi patokan perkembangan ego seseorang. Ada orang yang usianya sudah tua, namun memiliki ego yang demikian kuat, amarah yang seringkali terhambur semena-mena. Disisi lain, ada seseorang yang jauh lebih muda, mampu menunjukkan ketenangan dan pengendalian diri yang kuat, pada saat orang-orang yang lebih tua, ramai-ramai marah, mengutuk, mengecam, dan menyalahkan situasi. Sekali lagi, hal ini terletak pada kemauan masing-masing individu untuk belajar, dan memahami hidup sebagai proses pembelajaran tiada henti. Artinya, sebuah kemauan untuk menjadi manusia pembelajar seumur hidup. Kemauan untuk senantiasa melatih potensi berfikirnya, akal sehatnya, mendengarkan dengan seksama nuraninya, dan kemampuan membedakan mana dorongan yang benar-benar mendatangkan perbaikan, dan mana dorongan yang hanya berfungsi sebagai pemuas hawa nafsu belaka. Imam Ali, salah seorang Pemimpin pengganti Nabi Muhammad SAW, berkata, bahwa anugrah terbesar bagi seseorang adalah kesempurnaan akal. Karena kesempurnaan akal akan membantu seseorang memenangkan bisikan nurani atas insting-insting hewaninya. Itulah kenapa, orang-orang yang terbiasa dengan tradisi intelektual seringkali terlihat lebih matang dan mampu mengendalikan dirinya, daripada orang-orang yang dalam hidupnya hanya berkutat dalam permasalahan perut dan sesuatu dibawahnya. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan bahwa hal yang paling dasar untuk dilakukan dalam usaha menuju bangsa yang besar adalah membentuk tradisi intelektual. Dan hal itu dimulai dari budaya membaca. Sebagaimana Tuhan telah menurunkan kitab suci untuk dibaca oleh manusia--apa pentingnya? Karena Tuhan tahu, iblis tidak gemar membaca. Jika iblis mampu membaca, niscaya dia akan bersujud kepada Adam. Tentunya, Iblis tidak akan demikian bodoh menghabiskan umurnya untuk menyesatkan manusia.

Jadi, ketika, banyak tontonan amarah dinegeri ini, yakinlah bahwa itu semua ada hubungannya dengan membaca. Yakinlah bahwa koruptor-koruptor itu tidak gemar membaca, mahasiswa yang suka mengamuk dan tawur itu pastilah bukan kutu buku, wakil-wakil rakyat yang tidak memperjuangkan rakyat pasti tidak punya perpustakaan pribadi dan kegiatan rutin membaca buku. Apalagi? Keterpurukan negeri ini boleh jadi karena kita menyepelekkan hal yang kita anggap kecil, yakni pemberantasan buta aksara, dan budaya gemar membaca.

Kapan kita mulai gerakan tradisi intelektual? Saat ini, saat Anda ingin memberikan hadiah ultah untuk anak Anda, belikanlah dia buku. Barangkali, anak Anda tidak akan terlalu sering bandel dan ngembek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..