Perhelatan
memilih pemimpin kali ini merupakan sejarah baru, dimana para kandidatnya konon
dikatakan memiliki tingkat kepercayaan dan keterpilihan yang hampir sama; yang
membuat bangsa seolah terbelah menjadi dua.
Keterbelahan
tersebut menimbulkan ketegangan yang bisa berpotensi menjadi konflik, namun
juga bisa kita ambil sebuah pelajaran, untuk menentukan langkah bangsa ini ke
depan.
Masyarakat
sebuah bangsa, dibentuk dari interaksi sosial yang begitu rupa; konflik dan
rekonsiliasi yang silih berganti, persinggungan dengan alam yang menawarkan
kehidupan sekaligus ancaman kematian dan kehancuran tak terduga, serta
penetrasi bangsa asing dengan beragam kepentingan, semua bersintesa menjadi
jiwa bangsa yang unik dan khas.
Masyarakan
nusantara, sebagaimana jamaknya masyarakat timur, menyandarkan segala aspek
kehidupannya pada spiritualitas. Kita tidak bisa lepas dari kepercayaan
terhadap sesuatu yang ghaib, atau dunia lain selain dunia material. Meskipun
akhir-akhir ini modernitas memaksa sebagian besar warga dunia untuk menggunakan
hanya rasionya—pun yang bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’—jiwa kita akan selalu
merindukan kekuatan adikodrati untuk turut campur dalam persoalan kehidupan,
memberikan sentuhan keajaiban; terutama di saat-saat keadaan yang tak
tertahankan. Beberapa orang menyatakan hal semacam itu sebagai ‘pelarian’, di
sisi yang lain, seringkali bermanfaat bagi seimbangnya jiwa, karena motivasi
dan harapan yang selalu terjaga.
Masyarakat
dengan tipikal semacam itu, tidak menentukan dan memilih pemimpin berdasarkan
pikiran. Sia-sia menyajikan data ataupun fakta dalam rangka meyakinkan secara
logika, untuk memilih calon pemimpin tertentu. Masyarakat kita akan menggunakan
jiwanya secara total, untuk menentukan sosok yang pantas untuk memimpin mereka.
Meskipun tampaknya, ada beberapa diantara mereka yang memilih berdasarkan
imbalan materi, namun pada hakikatnya, tidak ada yang mereka patuhi kecuali
jiwa mereka sendiri, atau yang sering disebut dengan rasa. Masyarakat kita memilih berdasarkan rasa batin mereka. Mereka
akan mengulang-ulang dalam batin, nama calon pemimpin mereka, memandangi
wajahnya, solah bawa, nada dan
kekuatan dari ucapannya, lambaian tangannya, dan segala hal yang memberikan
kesan ke dalam jiwa; barulah mereka menentukan pilihan. Beberapa orang yang
peka batinnya, bahkan sudah bisa membaca rasa batin dari masyarakat, sosok yang
dipilih dan diidamkan. Seolah ada semacam pemberitahuan dari alam semesta, jiwa
bangsa, mengenai sosok yang pantas menjadi pemimpin. Rasa batin, kepekaan, dan
suara jiwa bangsa, bisa dibuktikan dan dipelajari dari munculnya Soekarno yang
tanpa tanding, bertahannya Soeharto puluhan tahun, dan terpilihnya SBY dalam
pilpres yang dipilih secara langsung.
Saat
ini pun demikian. Kita sebenarnya sudah bisa membaca, siapa yang pantas
memimpin Indonesia. Rasa batin dari masyarakat sebenarnya sudah bisa ditebak
kemana arah pilihan dan kecenderungannya. Hanya saja, itu semua terkaburkan
oleh mekanisme dan tata cara ketebelece,
yang memiliki banyak celah untuk manipulasi dan kecurangan, keberpihakkan
beberapa media yang memuakkan, dan sulap statistik yang dilakukan beberapa
lembaga survey. Administrasi, jurnalistik, dan statistik, seperangkat ilmu-ilmu
modern yang disalahgunakan begitu rupa, karena nista dan ketidakmurnian jiwa
manusia yang menggunakannya. Kekaburan tersebut membuat bangsa menjadi
terbelah.
Sebagaimana
kepribadian manusia, keterbelahan juga bisa melanda sebuah bangsa. Bangsa yang
tidak jelas jati dirinya, tidak menyadari perannya sebagai bangsa, bingung dan
ragu dalam melaju, maka sangat mungkin untuk terbelah. Dalam memilih dan
menentukan pemimpin (bukan pemimpi), bangsa ini terbelah menjadi mereka yang
menginginkan egaliterianisme dan mereka yang masih mengidamkan aristokratisme (untuk
tak menyebut elitisme). Sebagian masyarakat masih mengidamkan sosok raja dan
suasana priyayi, yang mirip strata sosial masyarakat eropa zaman pertengahan,
sebagian lagi menginginkan kepemimpinan parsipatoris, yang sama rata, tak
berjarak, tanpa kesenjangan, mirip dengan masyarakat suku, yang menjunjung
tinggi gotong royong dan kekeluargaan. Pertanyaannya, kemana arah bangsa ini
sebaiknya dan seharusnya? Jawabannya pun sebenarnya sudah pasti, dan sudah kita
terima secara aklamasi.
Ya,
rasa batin kita telah sama-sama mengangguk maklum; jiwa kita pun kembali
menyatu.
Ki Mantyasih
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..