Sabtu, 26 Juli 2014

MENYATUKAN JIWA BANGSA




Perhelatan memilih pemimpin kali ini merupakan sejarah baru, dimana para kandidatnya konon dikatakan memiliki tingkat kepercayaan dan keterpilihan yang hampir sama; yang membuat bangsa seolah terbelah menjadi dua.

Keterbelahan tersebut menimbulkan ketegangan yang bisa berpotensi menjadi konflik, namun juga bisa kita ambil sebuah pelajaran, untuk menentukan langkah bangsa ini ke depan.

Masyarakat sebuah bangsa, dibentuk dari interaksi sosial yang begitu rupa; konflik dan rekonsiliasi yang silih berganti, persinggungan dengan alam yang menawarkan kehidupan sekaligus ancaman kematian dan kehancuran tak terduga, serta penetrasi bangsa asing dengan beragam kepentingan, semua bersintesa menjadi jiwa bangsa yang unik dan khas. 

Masyarakan nusantara, sebagaimana jamaknya masyarakat timur, menyandarkan segala aspek kehidupannya pada spiritualitas. Kita tidak bisa lepas dari kepercayaan terhadap sesuatu yang ghaib, atau dunia lain selain dunia material. Meskipun akhir-akhir ini modernitas memaksa sebagian besar warga dunia untuk menggunakan hanya rasionya—pun yang bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’—jiwa kita akan selalu merindukan kekuatan adikodrati untuk turut campur dalam persoalan kehidupan, memberikan sentuhan keajaiban; terutama di saat-saat keadaan yang tak tertahankan. Beberapa orang menyatakan hal semacam itu sebagai ‘pelarian’, di sisi yang lain, seringkali bermanfaat bagi seimbangnya jiwa, karena motivasi dan harapan yang selalu terjaga. 

Masyarakat dengan tipikal semacam itu, tidak menentukan dan memilih pemimpin berdasarkan pikiran. Sia-sia menyajikan data ataupun fakta dalam rangka meyakinkan secara logika, untuk memilih calon pemimpin tertentu. Masyarakat kita akan menggunakan jiwanya secara total, untuk menentukan sosok yang pantas untuk memimpin mereka. Meskipun tampaknya, ada beberapa diantara mereka yang memilih berdasarkan imbalan materi, namun pada hakikatnya, tidak ada yang mereka patuhi kecuali jiwa mereka sendiri, atau yang sering disebut dengan rasa. Masyarakat kita memilih berdasarkan rasa batin mereka. Mereka akan mengulang-ulang dalam batin, nama calon pemimpin mereka, memandangi wajahnya, solah bawa, nada dan kekuatan dari ucapannya, lambaian tangannya, dan segala hal yang memberikan kesan ke dalam jiwa; barulah mereka menentukan pilihan. Beberapa orang yang peka batinnya, bahkan sudah bisa membaca rasa batin dari masyarakat, sosok yang dipilih dan diidamkan. Seolah ada semacam pemberitahuan dari alam semesta, jiwa bangsa, mengenai sosok yang pantas menjadi pemimpin. Rasa batin, kepekaan, dan suara jiwa bangsa, bisa dibuktikan dan dipelajari dari munculnya Soekarno yang tanpa tanding, bertahannya Soeharto puluhan tahun, dan terpilihnya SBY dalam pilpres yang dipilih secara langsung.

Saat ini pun demikian. Kita sebenarnya sudah bisa membaca, siapa yang pantas memimpin Indonesia. Rasa batin dari masyarakat sebenarnya sudah bisa ditebak kemana arah pilihan dan kecenderungannya. Hanya saja, itu semua terkaburkan oleh mekanisme dan tata cara ketebelece, yang memiliki banyak celah untuk manipulasi dan kecurangan, keberpihakkan beberapa media yang memuakkan, dan sulap statistik yang dilakukan beberapa lembaga survey. Administrasi, jurnalistik, dan statistik, seperangkat ilmu-ilmu modern yang disalahgunakan begitu rupa, karena nista dan ketidakmurnian jiwa manusia yang menggunakannya. Kekaburan tersebut membuat bangsa menjadi terbelah. 

Sebagaimana kepribadian manusia, keterbelahan juga bisa melanda sebuah bangsa. Bangsa yang tidak jelas jati dirinya, tidak menyadari perannya sebagai bangsa, bingung dan ragu dalam melaju, maka sangat mungkin untuk terbelah. Dalam memilih dan menentukan pemimpin (bukan pemimpi), bangsa ini terbelah menjadi mereka yang menginginkan egaliterianisme dan mereka yang masih mengidamkan aristokratisme (untuk tak menyebut elitisme). Sebagian masyarakat masih mengidamkan sosok raja dan suasana priyayi, yang mirip strata sosial masyarakat eropa zaman pertengahan, sebagian lagi menginginkan kepemimpinan parsipatoris, yang sama rata, tak berjarak, tanpa kesenjangan, mirip dengan masyarakat suku, yang menjunjung tinggi gotong royong dan kekeluargaan. Pertanyaannya, kemana arah bangsa ini sebaiknya dan seharusnya? Jawabannya pun sebenarnya sudah pasti, dan sudah kita terima secara aklamasi. 

Ya, rasa batin kita telah sama-sama mengangguk maklum; jiwa kita pun kembali menyatu. 

Ki Mantyasih
Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..