“Jika bukan si A yang
jadi, maka negara akan lemah; jika bukan si B yang jadi, negara menjadi
otoriter; harus A, karena bla … bla .. bla … ; semestinya B karena ble … ble
…ble …” Seperti itu kiranya yang ada dibenak kita saat-saat menjelang pemilihan
presiden. Semua orang memiliki alasan untuk setiap pilihannya; dan setiap
pilihan memuat semua harapan ideal yang mungkin bisa kita bayangkan.
Benak manusia memiliki
kemampuan luar biasa untuk menjangkau masa depan. Terhadap benda atau sesuatu
apapun, setiap manusia memiliki paling tidak sepersekian persen untuk
memprediksi atau dalam bahasa yang lebih vulgar meramal. Tanpa kita sadari,
setiap saat kita meramal apa saja. Sebuah rencana harian, agenda bulanan, dan
strategi jangka panjang maupun pendek, selalu terselip ramalan-ramalan yang
secara intuitif memasuki kesadaran kita, yang kemudian kita carikan penguatnya
pada data, fakta, dan logika. Tapi, percayalah bahwa kita pasti meramal;
seberapun prosentasenya.
Saat melihat sebuah
kejadian, benak kita berfikir tidak hanya kejadian tersebut, melainkan
keseluruhan kehidupan terutama kehidupan kita sendiri. Saat melihat sesuatu,
kita tidak hanya berfikir tentang sesuatu itu, melainkan juga keseluruhan hal
yang melingkupinya terutama dengan hal yang ada keterkaitan dengan kehidupan
(kepentingan) kita.
Dalam hal ‘penglihatan’
itulah, seseorang seringkali terjebak pada kesan, sehingga menimbulkan apriori,
sangkaan, dugaan, bahkan simpulan yang menjadi semacam keyakinan. Melihat orang
berdasi dengan stelan jas yang necis, kita merasakan kesan kesuksesan. Benar
atau tidaknya, yang jelas sedari awal, dasi dan jas necis sudah berhasil
membuat kesan itu.
‘Penglihatan’ kita erat
kaitannya dengan kapasitas, yakni pengetahuan dan pengalaman kita. Orang-orang
yang sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang berdasi, sudah tahu seluk
beluknya, tentu tidak serta merta termakan oleh kesan yang dibuat benda simbol
modernitas itu. Bahkan beberapa eksekutif yang juga intelektual, malas
memakainya karena sudah tidak unik lagi. Orang-orang tertentu sudah melampaui ‘dunia
dasi’, berganti dengan stelan baju dari tenun tradisional yang lebih bersahaja,
sementara masih banyak yang bahkan belum menginjakkan kaki di ‘dunia dasi’, dan
hanya mampu mengangankannya. Modernisasi memang menimbulkan kesenjangan; di
semua aspek yang dijajahnya.
Kembali pada soal,
‘penglihatan’, sebuah masyarakat juga memiliki ‘penglihatan’. Dalam memilih pemimpinnya,
masyarakat kita memiliki ‘penglihatan’ yang unik. Kita bisa mempelajari
bagaimana rakyat melihat Soekarno, dan membuat semacam ‘penglihatan’ pada
sosoknya. Sehingga kita bisa faham, kenapa bukan Tan Malaka, atau Syahrir, yang
menjadi pilihan rakyat saat itu. Kita juga bisa mempelajari kenapa rakyat
begitu ‘ngeh’ pada sosok SBY, dan membuat ‘penglihatan’ saat itu. Sehingga kita
juga bisa ‘ngeh’ kenapa bukan yang ini dan itu yang dipilih rakyat. Intinya
pada ‘penglihatan’.
Meskipun kita sering salah
lihat, artinya ‘penglihatan’ saat dulu dan sekarang begitu sering berbeda, toh
kita tidak pernah berhenti membuat semacam ‘penglihatan’. Pada pemilihan
presiden saat ini, dari orang yang awam hingga intelektual bahkan para romo Begawan,
membuat ‘penglihatan’ versi masing-masing. Pemilihan presiden kali ini memang
menjadi ujian bagi semua kalangan, baik orang maupun lembaga, mana yang
benar-benar murni, mana yang terjebak pada tendensi; mana yang benar-benar
seorang intelektual sejati, mana yang karbitan; hingga kepada mana yang
benar-benar pemuka agama sesungguhnya, mana yang hanya polesan. Semuanya
terlihat, dari ucapan yang seolah dibungkus nurani, namun tak urung berisi nasi
bungkus pesanan, dari pendapat yang dilogikakan, namun mengangkangi akal sehat,
hingga semacam fatwa yang seolah wahyu ilahi namun penuh sesak hal-hal duniawi.
Kita memang tak pernah
berhenti membuat ‘penglihatan’, hasrat ‘meramal’ kita tak pernah sepenuhnya
padam. Kita akan terus menerus berekspektasi mengenai si A dan si B hingga
busa-busa ekspektasi itu menenggelamkan kita ke dasar jurang. Benarkah jika si
A yang menjadi pemimpin kita, kita akan sejahtera? Benarkah jika si B yang
memimpin, maka bangsa kita akan disegani? Kita semua tahu, tidak semudah itu!
Akal sehat kita sudah sering mengancam saat kita mengatakan dengan mulut penuh
busa, pilihlah si A, negera akan sejahtera. Nurani kita sudah demikian sering
bergolak mengecam saat kita berteriak lantang pilihlah si B negara akan kuat
sekuat macan. Apakah kita bisa memastikan? Kita membohongi diri kita sendiri
dan kita sedang mengajak orang ramai-ramai membohongi dirinya. Tanpa kita
sadari, kita telah memecah bangsa ini menjadi kutub-kutub yang tanpa makna.
Kita demikian mudah berkata-kata, tanpa kita tahu bahwa kata-kata itu sedang
berproses menjadi parang dan pentungan yang suatu saat digunakan masing-masing
kutub untuk saling melukai. Bangsa yang belum sembuh sepenuhnya oleh luka, kini
sudah merintis luka baru; dan kita semua akan dimintai pertanggungjawaban!
Kesalahan fatal kita
adalah kita lupa berserah. Kita sepakat untuk berketuhanan yang Maha Esa, namun
lupa untuk menyerahkan segala urusan kita pada-Nya. Nasib bangsa ini ada
ditangan kita, namun tangan kita bergerak dalam kuasa-Nya. Marilah kita mulai
menghentikan ekspektasi kita yang berlebihan. Para calon pemimpin kita hanyalah
manusia biasa. Tidak sepatutnya kita meletakkan semua harapan dipundak mereka,
sementara kita memiliki pundak-pundak yang meski kecil, namun banyak dan
berarti. Marilah kita mulai berpasrah, melakukan apa yang menurut kita benar,
namun jangan sekali-kali memaksakan apalagi memastikan, jangan menutup hati
untuk kehendak-Nya yang bisa jadi berbeda dengan kehendak kita. Janganlah kita
berlebihan dalam membela, berlebihan dalam memihak, berlebihan dalam mencintai
dan membenci. Marilah kita membuat alternatif ketiga.
Alternatif Ketiga
Setiap lima tahun, kita
memilih pemimpin, dan setiap itu pula kita mengidamkan perubahan yang lebih
baik. Tahapan tahun bernegara kita seringkali—kalau tidak selalu—dimuati
ketidakpuasan terhadap kepemimpinan masa lalu dan harapan yang berlebihan
terhadap kepemimpinan yang akan datang. Seperti perempuan galau yang
berganti-ganti pacar, setiap bertemu laki-laki yang baru, pacar yang lama akan
dicari-cari kesalahan, sementara pacar baru dipuji-puji setinggi langit.
Ketergantungan kita kepada
pemimpin barangkali karena kita masih meletakkan titik kehidupan kita pada
politik. Dalam kehidupan bernegara, kita dipimpin oleh para politisi yang
membuat kebijakan dalam pasal-pasal. Undang-undang menjadi kajian, pembicaraan,
dan perdebatan yang begitu rupa. Kita jarang sekali membahas, memperdalam, dan
mengembangkan filosofi kita yang sangat unik: pancasila. Kita jarang
mengembangkan kepemimpinan dalam hikmat kebijaksanaan,
Kepemimpinan dalam hikmat
kebijaksanaan adalah terpimpinnya masyarakat oleh nurani dan akal sehat.
Masyarakat menjadi mandiri dalam membangun peradaban tanpa tergantung kepada
sosok personal yang bagai manusia setengah dewa. Ketimbang, sibuk dalam hiruk
pikuk pemilihan presiden setiap lima tahun, kenapa tidak kita sibukkan diri
kita membina masyarakat yang beradab, mendidik dan menyemaikan kebijaksanaan
masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat penuh dengan olah cipta, rasa, dan
karsa. Bukankah kita terlalu memberikan perhatian kepada Indonesia dalam konsep
negara, dengan politik dan hukum yang sarat manipulasi dan kepentingan?
Sementara, perhatian kita kepada Indonesia sebagai bangsa, sangat amat minim.
Kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan, itulah hakikat bangsa. Bangsa
merupakan entitas budaya yang menjadi ruh peradaban.
Kita masih punya pekerjaan
rumah kaitannya dengan konstruksi bahasa kita. Kemapanan bahasa masyarakat kita
masih sangat membutuhkan perhatian, begitu pun pewarisan bahasa dari generasi
ke generasi. Khazanah ilmu pengetahuan dan budaya nusantara masih banyak yang
mesti digali dan dikembangkan, bahkan suatu saat mestinya kita bisa merumuskan
konsep ilmu pengetahuan kita sendiri yang khas, tanpa tergantung dengan ilmu
pengetahuan dengan sudut pandang positivis Barat yang timpang. Kita bisa
merintis sebuah peradaban dunia yang baru, Peradaban Tenggara, dengan
mengembangkan warisan ilmu dan budaya nusantara yang adiluhung: serat-serat
kuno begitu berlimpah, produk-produk budaya, candi, artefak, situs, tradisi
lisan, semua menunggu untuk dikembangkan. Selain kaya dengan sumber daya alam,
kita juga kaya dengan sumber daya budaya. Kenapa tidak ada pemimpin yang begitu
pekat dan intim membicarakan hal ini?
Tidak usah menunggu
pemimpin. Orang-orang yang sadar budaya, para budayawan yang hatinya murni,
mesti mengambil alih keadaan. Mengerahkan daya magisnya untuk membangun
masyarakat yang berbudaya yang dapat memimpin dirinya sendiri. Inilah
alternatif ketiga, sebuah kepemimpinan budaya, kepemimpinan akal sehat dan
nurani.
Saat masyarakat mampu
memimpin dirinya sendiri, pemimpin muncul dengan alamiah, yakni dia yang paling
memiliki hikmat kebijaksanaan dalam dirinya. Tidak ada ketegangan, tanpa hiruk
pikuk, begitu anggun dan beradab. Seperti kata Plato, hanya sosok raja filsuf
yang mampu memimpin dengan adil dan bijaksana, yang mampu mewujudkan peradaban
sebuah bangsa. Sosok itu, hanya akan muncul ditengah-tengah masyarakat yang
pekat budaya, penuh gairah dalam olah cipta, rasa, dan karsanya. Kaidahnya, dari
masyarakatnya dulu yang adil, baru akan muncul ratu adil, bukan sebaliknya.
Media yang adil, tokoh-tokoh yang adil, guru-guru yang adil, pemuka-pemuka
agama yang adil, dan seluruh komponen dalam masyarakat harus mempelopori
keadilan.
Guru akan datang manakala
murid sudah memiliki kesiapan batin, sosok pemimpin yang adil akan datang,
manakala masyarakat sudah siap dipimpin dalam keadilan. Mendidik masyarakat,
mengembangkan budaya, membangun bangsa—bukan hanya negara—dalam hal itulah
mestinya kita disibukkan, bukan dengan hingar bingar politik yang selalu saja
menjerembabkan kita ke titik terendah kemanusiaan, bahkan menguak sisi
kebinatangan begitu rupa.
Jika kita masih berharap
dan tergantung kepada sosok pemimpin, lihat saja, setelah terpilihnya pemimpin
yang baru, ekpektasi kita akan mulai berkurang seiring berkurangnya tahun
kepemimpinan, dan di pertengahan tahun kepemimpinan—siapapun nanti—mahasiswa
kita akan mulai berdemo menolak kedatangan sang pemimpin di setiap kota. Kita akan mulai
lagi nggerundel, media kita akan
mulai rasan-rasan, dan di warteg,
kita akan mulai mengeluhkan keadaan, sembari mengepulkan asap rokok, menerawang
dan membatin, kapankah ratu adil akan datang … ?
Ki Mantyasih
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..