Selasa, 22 Juli 2014

Menghentikan Ekspektasi Kita, Membuat Alternatif Ketiga




“Jika bukan si A yang jadi, maka negara akan lemah; jika bukan si B yang jadi, negara menjadi otoriter; harus A, karena bla … bla .. bla … ; semestinya B karena ble … ble …ble …” Seperti itu kiranya yang ada dibenak kita saat-saat menjelang pemilihan presiden. Semua orang memiliki alasan untuk setiap pilihannya; dan setiap pilihan memuat semua harapan ideal yang mungkin bisa kita bayangkan.

Benak manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menjangkau masa depan. Terhadap benda atau sesuatu apapun, setiap manusia memiliki paling tidak sepersekian persen untuk memprediksi atau dalam bahasa yang lebih vulgar meramal. Tanpa kita sadari, setiap saat kita meramal apa saja. Sebuah rencana harian, agenda bulanan, dan strategi jangka panjang maupun pendek, selalu terselip ramalan-ramalan yang secara intuitif memasuki kesadaran kita, yang kemudian kita carikan penguatnya pada data, fakta, dan logika. Tapi, percayalah bahwa kita pasti meramal; seberapun prosentasenya.

Saat melihat sebuah kejadian, benak kita berfikir tidak hanya kejadian tersebut, melainkan keseluruhan kehidupan terutama kehidupan kita sendiri. Saat melihat sesuatu, kita tidak hanya berfikir tentang sesuatu itu, melainkan juga keseluruhan hal yang melingkupinya terutama dengan hal yang ada keterkaitan dengan kehidupan (kepentingan) kita.

Dalam hal ‘penglihatan’ itulah, seseorang seringkali terjebak pada kesan, sehingga menimbulkan apriori, sangkaan, dugaan, bahkan simpulan yang menjadi semacam keyakinan. Melihat orang berdasi dengan stelan jas yang necis, kita merasakan kesan kesuksesan. Benar atau tidaknya, yang jelas sedari awal, dasi dan jas necis sudah berhasil membuat kesan itu. 

‘Penglihatan’ kita erat kaitannya dengan kapasitas, yakni pengetahuan dan pengalaman kita. Orang-orang yang sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang berdasi, sudah tahu seluk beluknya, tentu tidak serta merta termakan oleh kesan yang dibuat benda simbol modernitas itu. Bahkan beberapa eksekutif yang juga intelektual, malas memakainya karena sudah tidak unik lagi. Orang-orang tertentu sudah melampaui ‘dunia dasi’, berganti dengan stelan baju dari tenun tradisional yang lebih bersahaja, sementara masih banyak yang bahkan belum menginjakkan kaki di ‘dunia dasi’, dan hanya mampu mengangankannya. Modernisasi memang menimbulkan kesenjangan; di semua aspek yang dijajahnya.

Kembali pada soal, ‘penglihatan’, sebuah masyarakat juga memiliki ‘penglihatan’. Dalam memilih pemimpinnya, masyarakat kita memiliki ‘penglihatan’ yang unik. Kita bisa mempelajari bagaimana rakyat melihat Soekarno, dan membuat semacam ‘penglihatan’ pada sosoknya. Sehingga kita bisa faham, kenapa bukan Tan Malaka, atau Syahrir, yang menjadi pilihan rakyat saat itu. Kita juga bisa mempelajari kenapa rakyat begitu ‘ngeh’ pada sosok SBY, dan membuat ‘penglihatan’ saat itu. Sehingga kita juga bisa ‘ngeh’ kenapa bukan yang ini dan itu yang dipilih rakyat. Intinya pada ‘penglihatan’. 

Meskipun kita sering salah lihat, artinya ‘penglihatan’ saat dulu dan sekarang begitu sering berbeda, toh kita tidak pernah berhenti membuat semacam ‘penglihatan’. Pada pemilihan presiden saat ini, dari orang yang awam hingga intelektual bahkan para romo Begawan, membuat ‘penglihatan’ versi masing-masing. Pemilihan presiden kali ini memang menjadi ujian bagi semua kalangan, baik orang maupun lembaga, mana yang benar-benar murni, mana yang terjebak pada tendensi; mana yang benar-benar seorang intelektual sejati, mana yang karbitan; hingga kepada mana yang benar-benar pemuka agama sesungguhnya, mana yang hanya polesan. Semuanya terlihat, dari ucapan yang seolah dibungkus nurani, namun tak urung berisi nasi bungkus pesanan, dari pendapat yang dilogikakan, namun mengangkangi akal sehat, hingga semacam fatwa yang seolah wahyu ilahi namun penuh sesak hal-hal duniawi.

Kita memang tak pernah berhenti membuat ‘penglihatan’, hasrat ‘meramal’ kita tak pernah sepenuhnya padam. Kita akan terus menerus berekspektasi mengenai si A dan si B hingga busa-busa ekspektasi itu menenggelamkan kita ke dasar jurang. Benarkah jika si A yang menjadi pemimpin kita, kita akan sejahtera? Benarkah jika si B yang memimpin, maka bangsa kita akan disegani? Kita semua tahu, tidak semudah itu! Akal sehat kita sudah sering mengancam saat kita mengatakan dengan mulut penuh busa, pilihlah si A, negera akan sejahtera. Nurani kita sudah demikian sering bergolak mengecam saat kita berteriak lantang pilihlah si B negara akan kuat sekuat macan. Apakah kita bisa memastikan? Kita membohongi diri kita sendiri dan kita sedang mengajak orang ramai-ramai membohongi dirinya. Tanpa kita sadari, kita telah memecah bangsa ini menjadi kutub-kutub yang tanpa makna. Kita demikian mudah berkata-kata, tanpa kita tahu bahwa kata-kata itu sedang berproses menjadi parang dan pentungan yang suatu saat digunakan masing-masing kutub untuk saling melukai. Bangsa yang belum sembuh sepenuhnya oleh luka, kini sudah merintis luka baru; dan kita semua akan dimintai pertanggungjawaban!

Kesalahan fatal kita adalah kita lupa berserah. Kita sepakat untuk berketuhanan yang Maha Esa, namun lupa untuk menyerahkan segala urusan kita pada-Nya. Nasib bangsa ini ada ditangan kita, namun tangan kita bergerak dalam kuasa-Nya. Marilah kita mulai menghentikan ekspektasi kita yang berlebihan. Para calon pemimpin kita hanyalah manusia biasa. Tidak sepatutnya kita meletakkan semua harapan dipundak mereka, sementara kita memiliki pundak-pundak yang meski kecil, namun banyak dan berarti. Marilah kita mulai berpasrah, melakukan apa yang menurut kita benar, namun jangan sekali-kali memaksakan apalagi memastikan, jangan menutup hati untuk kehendak-Nya yang bisa jadi berbeda dengan kehendak kita. Janganlah kita berlebihan dalam membela, berlebihan dalam memihak, berlebihan dalam mencintai dan membenci. Marilah kita membuat alternatif ketiga.

Alternatif Ketiga

Setiap lima tahun, kita memilih pemimpin, dan setiap itu pula kita mengidamkan perubahan yang lebih baik. Tahapan tahun bernegara kita seringkali—kalau tidak selalu—dimuati ketidakpuasan terhadap kepemimpinan masa lalu dan harapan yang berlebihan terhadap kepemimpinan yang akan datang. Seperti perempuan galau yang berganti-ganti pacar, setiap bertemu laki-laki yang baru, pacar yang lama akan dicari-cari kesalahan, sementara pacar baru dipuji-puji setinggi langit. 

Ketergantungan kita kepada pemimpin barangkali karena kita masih meletakkan titik kehidupan kita pada politik. Dalam kehidupan bernegara, kita dipimpin oleh para politisi yang membuat kebijakan dalam pasal-pasal. Undang-undang menjadi kajian, pembicaraan, dan perdebatan yang begitu rupa. Kita jarang sekali membahas, memperdalam, dan mengembangkan filosofi kita yang sangat unik: pancasila. Kita jarang mengembangkan kepemimpinan dalam hikmat kebijaksanaan, 

Kepemimpinan dalam hikmat kebijaksanaan adalah terpimpinnya masyarakat oleh nurani dan akal sehat. Masyarakat menjadi mandiri dalam membangun peradaban tanpa tergantung kepada sosok personal yang bagai manusia setengah dewa. Ketimbang, sibuk dalam hiruk pikuk pemilihan presiden setiap lima tahun, kenapa tidak kita sibukkan diri kita membina masyarakat yang beradab, mendidik dan menyemaikan kebijaksanaan masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat penuh dengan olah cipta, rasa, dan karsa. Bukankah kita terlalu memberikan perhatian kepada Indonesia dalam konsep negara, dengan politik dan hukum yang sarat manipulasi dan kepentingan? Sementara, perhatian kita kepada Indonesia sebagai bangsa, sangat amat minim. Kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan, itulah hakikat bangsa. Bangsa merupakan entitas budaya yang menjadi ruh peradaban.

Kita masih punya pekerjaan rumah kaitannya dengan konstruksi bahasa kita. Kemapanan bahasa masyarakat kita masih sangat membutuhkan perhatian, begitu pun pewarisan bahasa dari generasi ke generasi. Khazanah ilmu pengetahuan dan budaya nusantara masih banyak yang mesti digali dan dikembangkan, bahkan suatu saat mestinya kita bisa merumuskan konsep ilmu pengetahuan kita sendiri yang khas, tanpa tergantung dengan ilmu pengetahuan dengan sudut pandang positivis Barat yang timpang. Kita bisa merintis sebuah peradaban dunia yang baru, Peradaban Tenggara, dengan mengembangkan warisan ilmu dan budaya nusantara yang adiluhung: serat-serat kuno begitu berlimpah, produk-produk budaya, candi, artefak, situs, tradisi lisan, semua menunggu untuk dikembangkan. Selain kaya dengan sumber daya alam, kita juga kaya dengan sumber daya budaya. Kenapa tidak ada pemimpin yang begitu pekat dan intim membicarakan hal ini?

Tidak usah menunggu pemimpin. Orang-orang yang sadar budaya, para budayawan yang hatinya murni, mesti mengambil alih keadaan. Mengerahkan daya magisnya untuk membangun masyarakat yang berbudaya yang dapat memimpin dirinya sendiri. Inilah alternatif ketiga, sebuah kepemimpinan budaya, kepemimpinan akal sehat dan nurani. 

Saat masyarakat mampu memimpin dirinya sendiri, pemimpin muncul dengan alamiah, yakni dia yang paling memiliki hikmat kebijaksanaan dalam dirinya. Tidak ada ketegangan, tanpa hiruk pikuk, begitu anggun dan beradab. Seperti kata Plato, hanya sosok raja filsuf yang mampu memimpin dengan adil dan bijaksana, yang mampu mewujudkan peradaban sebuah bangsa. Sosok itu, hanya akan muncul ditengah-tengah masyarakat yang pekat budaya, penuh gairah dalam olah cipta, rasa, dan karsanya. Kaidahnya, dari masyarakatnya dulu yang adil, baru akan muncul ratu adil, bukan sebaliknya. Media yang adil, tokoh-tokoh yang adil, guru-guru yang adil, pemuka-pemuka agama yang adil, dan seluruh komponen dalam masyarakat harus mempelopori keadilan. 

Guru akan datang manakala murid sudah memiliki kesiapan batin, sosok pemimpin yang adil akan datang, manakala masyarakat sudah siap dipimpin dalam keadilan. Mendidik masyarakat, mengembangkan budaya, membangun bangsa—bukan hanya negara—dalam hal itulah mestinya kita disibukkan, bukan dengan hingar bingar politik yang selalu saja menjerembabkan kita ke titik terendah kemanusiaan, bahkan menguak sisi kebinatangan begitu rupa.

Jika kita masih berharap dan tergantung kepada sosok pemimpin, lihat saja, setelah terpilihnya pemimpin yang baru, ekpektasi kita akan mulai berkurang seiring berkurangnya tahun kepemimpinan, dan di pertengahan tahun kepemimpinan—siapapun nanti—mahasiswa kita akan mulai berdemo menolak kedatangan sang pemimpin di setiap kota. Kita akan mulai lagi nggerundel, media kita akan mulai rasan-rasan, dan di warteg, kita akan mulai mengeluhkan keadaan, sembari mengepulkan asap rokok, menerawang dan membatin, kapankah ratu adil akan datang … ?

Ki Mantyasih
Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..