Senin, 03 September 2012

Kebudayaan Sejati; Sejatinya Kebudayaan

“Kita terperangkap dalam sekat yang kita buat sendiri. Untuk kebudayaan, kita telah memenjarakannya dalam jeruji bernama melestarikan tradisi.”

Watak masyarakat jawa yang sangat menghormati leluhur, bisa jadi merupakan kebanggaan yang tak ada duanya. Orang jawa begitu tertanamkan dengan falsafah mikul dhuwur mendem jero, yakni bagaimana menghargai, menelusuri, dan melestarikan setiap jejak yang telah ditempuh oleh para pendahulunya. Dalam sebuah perspektif moral, ini sesuatu yang sangat positif. Meski jika kita tidak bisa mendudukkan dalam hakekat kesejatian, maka hal ini menjadi fatal niscaya.
Kebudayaan, adalah sebuah proses batin dalam memandang dan merespon dunia lahir, dalam bingkai sangkan paran pengetahuan kasampurnan. Sangkan paran bermakna dari mana, akan kemana, sehingga mengetahui harus bagaimana; pengetahuan kasampurnan adalah pengetahuan tentang totalitas keseluruhan, dan bagaimana segala sesuatu terhubung menjadi satu. Bingkai tersebut seperti sebuah emban yang melingkari mata cincin, bernama cipta, rasa, dan karsa. Gampangnya, cipta adalah pikiran batin, rasa adalah emosi batin, dan karsa adalah kehendak batin. Ketiganya bergerak dan saling memengaruhi, membentuk jagad batin setiap manusia. Jika bingkainya kuat, embannya kokoh, maka mata cincin akan seimbang dan memancar, inilah yang disebut budi. Sebaliknya, jika embannya rusak, logro, tidak kuat mencengkram, maka mata cincin akan mudah goyah, hilang keseimbangan, bahkan bisa terlepas, menggelinding entah kemana. Dari sinilah konsepsi kebudayaan seharusnya dipahami.
Para leluhur, adalah manusia-manusia yang berbudi, bukan dalam arti memiliki sopan santun, atau menaati norma. Budi adalah kondisi batin yang tercerahkan, sehingga mampu memberikan pencerahan pada sekeliling, menghasilkan wujud-wujud budaya. Para leluhur, mengetahui betul, sangkan paran pengetahuan kasampurnan, sehingga dalam melihat serta merespon keadaan pada zamannya, mereka mampu membentuk sebuah tatanan yang indah, yang agung, yang dipenuhi keharmonisan. Intinya, mereka berhasil menyelenggarakan sebuah kehidupan yang dipenuhi cita rasa, damai, dan tentram.
Bagaimana dengan masyarakat zaman ini? Pada umumnya, kita memahami kebudayaan sebatas pelestarian tradisi, atau penyelenggaraan ritual klasik. Apa yang dahulu dihasilkan oleh leluhur, ditelan bulat-bulat, atau paling tidak diberikan modifikasi eklektik seperti mencampur warna hitam dan putih, tanpa dasar filosofis yang kuat. Kita merasa sudah berbudaya, jika sudah memakai pakaian adat, belajar tari-tari tradisional, musik tradisional, memakan makanan tradisional, dan berperan seolah hidup pada masa lampau. Kita lupa, bahwa yang paling penting adalah warisan leluhur berupa pemahaman terhadap sangkan paran pengetahuan kasampurnan. Sehingga kita juga bisa memilliki budi sebagaimana leluhur kita, dan mampu menggunakan budi tersebut untuk merespon keadaan kekinian, serta mampu menghasilkan wujud-wujud budaya baru yang secara total adalah sebuah proses dari jagad batin yang tercerahkan. Kehidupan adalah saat ini. inilah zaman kita, sebuah panggung waktu yang mesti kita isi dengan pertunjukan terindah. Sekali lagi, bukan harus seperti masa yang dulu. Para leluhur sudah menyelenggarakan pertunjukkan terbaik mereka dipanggung waktu mereka. Saatnya lah bagi kita, untuk membuat sebuah pertunjukkan untuk panggung kita, sekarang.

Kebudayaan, Adalah Sebuah Titik Awal, Serta Titik Tolak

Tugas kita saat ini, adalah menyelenggarakan kehidupan. Membuat sebuah pertunjukan terindah pada panggung waktu kita. Pertama-tama, kita harus mampu menjadi manusia yang berbudi, artinya menjadi manusia yang memahami sangkan paran pengetahuan kasampurnan. Kita mesti secara rutin merenungi awal keberadaan kita, dan mengingat akhir keberadaan, serta mengetahui bagaimana hakekat keberadaan. Komunikasi batin yang intens merupakan kegiatan yang mesti kita lakukan setiap saat. Saat kita memulainya, dan secara terus menerus menekuninya, kita akan menyadari bahwa batin memiliki suara, batin ternyata dapat berbicara. Semakin kuat dan terbiasa dengan komunikasi tersebut, maka batin akan memandu kita, menuntun kita untuk melakukan tarian terindah pada panggung kehidupan kita.
Kedua, kita mesti memahami bahwa kebudayaan adalah sebuah proses yang berlangsung terus menerus, selalu dinamis, sebagaimana jiwa kita juga setiap saat melakukan gerak menuju sesuatu: yang baik, yang benar, yang indah, yang agung, yang sederhana. Memang sayangnya, kita selalu menghadang, menghalang-halangi, dan membelokkan gerak jiwa kita, karena apa? Karena ketakutan kehilangan materi, kehilangan sesuatu yang sifatnya lahir dan bendawi. Yang baik, yang benar, yang indah, yang agung, dan yang sederhana adalah sesuatu yang tak lagi memerlukan definisi, karena mereka begitu mudah dikenali, begitu dekat dengan diri kita. Kita sering tergoda untuk memberikan definisi bagi mereka, pasti saat kita berusaha mencari-cari alasan pembenaran dari tindakan dan keputusan yang kita ambil, untuk menyembunyikan ketakutan kita yang sebenarnya. Dengan demikian, pelestarian kebudayaan, bukan bermakna mengulang-ulang wujud-wujud budaya masa lalu, melainkan mengambil spirit darinya dan menghidupkannya kembali dalam wujud-wujud budaya yang baru, secara dinamis dan terus menerus.
Selanjutnya, saat kita memahami budaya dalam konsepsi manusia yang memiliki budi, yang bertugas menyelenggarakan kehidupan, maka kita akan mendudukkan kebudayaan sebagai titik awal, dan titik tolak segala sesuatu. Aspek-aspek kehidupan yang lainnya, seperti ekonomi, politik, pendidikan, hukum, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta yang lainnya, mesti bertolak dari budaya, bertolak dari manusia yang tercerahkan, bertolak dari pencerahan-pencerahan batin. Karena jika tidak, maka artinya tidak memiliki landasan. Jika tidak memiliki landasan, maka hanya menyebabkan kerusakan dan kerusakan, masalah dan masalah, tanpa henti. Berputar-putar dalam lingkaran kegelapan.
Pertanyaan untuk kita semua: siapkah diri kita meninjau ulang, membongkar pasang, mengawali segalanya kembali dengan berusaha menjadi manusia yang memiliki budi, dan menghasilkan wujud-wujud budaya, untuk mementaskan pertunjukkan terindah dan agung pada panggung waktu kita?
Jika kita menginginkan kehidupan yang damai dan tentram, kehidupan yang ruhnya menyala, seimbang dan harmonis, maka kita harus menyiapkan diri kita untuk kembali kepada budaya. Budaya dalam arti daya budi, kekuatan batin yang tercerahkan, yang selalu bergerak menuju yang baik, yang benar, yang indah, yang agung, dan yang sederhana.
Satu hal yang sebenarnya menjadi inti pesan dari semua itu, yang sangat mudah dipahami. Marilah kita pegang dengan kuat, akal sehat dan nurani. Itu saja. Itulah kebudayaan sejati, sejatinya kebudayaan.

Muhammad Zainur Rakhman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sungguh, masa kejayaan itu kian dekat..