Kamis, 28 Juli 2011

Barangkali Sedikit Menina-bobokan Rakyat

Bendera terpasang berderet, seperti deretan masalah di negeri ini. Umbul-umbul terpasang menjulang tinggi, setinggi asa kita semua akan bangsa yang jaya dan sejahtera.

Setiap perayaan kemerdekaan negeri ini, selalu saja semarak. Penuh dengan kegiatan dan agenda, dari tingkat pusat hingga daerah. Beragam corak gapura dengan segala macam asesoris khas para pejuang, begitu melambangkan geliat semangat 45. Kita diseret kepada peristiwa setengah abad silam, seorang Bung Karno, dengan suaranya yang ‘menggelegar’, membacakan naskah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Saat itu, aroma perjuangan, semangat menjadi bangsa yang bermartabat barangkali begitu kental dan kentara. Tokoh-tokoh nasional begitu dielu-elukan oleh rakyat, berlomba-lomba dengan segenap ketulusan terdalam, membesarkan dan menatih bangsa yang masih bayi. Kini, tak tahulah apa sebutan yang tepat untuk bangsa dengan usia yang belum genap seabad. Apakah kanak-kanak, remaja, atau bangsa yang sudah dewasa.

Kita semua mengenang kepahlawanan dalam setiap perayaan tujuh belas agustus, dengan cara yang berbeda-beda. Tergantung kepada cara kita memaknai kemerdekaan. Tentu saja kita tidak serta merta memberikan penilaian, bahwa kemerdekaan hanya sekedar panjat pinang, atau makan kerupuk; bagi mereka yang mengisi ‘agustusan’ dengan cara demikian. Kalau demikian, makna kemerdekaan sungguh-sungguh memilukan. Ditengah segala macam persoalan pokok yang belum sepenuhnya selesai, bahkan senantiasa bertambah dengan sederet persoalan tambahan.

Persoalan pokoknya adalah, tahukah kita—yang memerintah dan diperintah—akan sebuah makna menjadi bangsa, menjadi negara. Apakah kita bisa memberikan jawaban yang jelas dan pantas, untuk apa Tuhan menjadikan adanya bangsa Indonesia. Kenapa membawa-bawa Tuhan? Karena itu tatanan pertama dalam dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Sebagai bangsa yang berTuhan—entah apa maksudnya berTuhan? Apakah memiliki Tuhan ataukah menghamba pada Tuhan, atau hanya mempermainkan Tuhan—tentu kita harus bertanya padaNya, untuk apa adanya bangsa Indonesia dalam jagad penciptaan dan tatanan dunia, penting atau tidak? Kalau tidak penting, bubaran saja. Tetapi kalau memang keberadaan bangsa Indonesia ini penting. Kita harus menemukan apa pentingnya, bukan mengarahkannya kepada kepentingan kita.

Sebagai bangsa berTuhan, kita yakin bahwa Tuhan memberikan karunia yang begitu berlimpah kepada bangsa ini, bukan tanpa maksud. Adanya negeri yang berpulau-pulau, kaya akan aneka bahan tambang, letak geografis yang strategis—begitulah yang selalu diajarkan di sekolah dasar—diapit oleh dua benua, dan dua samudra, memangnya Indonesia benua tersendiri, bukankah ia bagian dari Asia? Tapi, tak mengapa. Yang penting kita sejak kanak-kanak telah paham dan berbangga bahwa negeri kita adalah untaian jamrud khatulistiwa, tongkat ditancap saja bisa jadi tanaman.

Kitapun, tergugah kembali kebanggaan dan gairah menjadi bangsa setiap kali perayaan kemerdekaan. Ditengah berbagai persoalan pokok, seperti moral dan jati diri bangsa, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lapangan kerja, dan kemiskinan; ditambah persoalan tambahan seperti terorisme, korupsi, dan TKI; bangsa ini ingin melupakan sejenak dengan ‘berpesta’ dan mengisi ‘agustusan’ dengan serangkaian upacara, lomba-lomba, dan syukuran. Rakyat menjadi lupa sejenak dengan segala macam persoalan ekonomi mereka, besarnya biaya masuk sekolah anak-anak mereka, melunasi besarnya biaya persalinan kalau tidak ingin ‘dipenjara’ dirumah bersalin, rendahnya upah dan minimnya perlindungan buruh, serta seabrek ‘definisi’ yang jauh dari kata kesejahteraan. Barangkali, megahnya umbul-umbul, perkasanya tembakan salvo yang mereka lihat di TV ketika upacara kemerdekaan, pemasangan bendera kebangsaan yang begitu mengharukan, menjadikan rakyat lupa dan sedikit terhibur akan beban hidup yang mereka tanggung sebagai rakyat Indonesia. Barangkali, ‘kemewahan’ perayaan semacam ini, akan membuat para pejabat kita, dengan perut yang selalu berlebih, pakaian bagus, mobil bagus, rumah bagus, merasa sukses memimpin dan memerintah rakyat; memendam dalam-dalam fakta ibu Ru’yati yang tak bisa pulang meski hanya jenazahnya, anak-anak yang diperkosa bergiliran, sedangkan para pelakunya hanya diganjar beberapa tahun, bahkan bisa menebus kebebasan dengan uang, menghamburkan bumbu-bumbu serbuk penenang dalam setiap kesempatan berpidato, dan tak bisa menjawab dengan benar alamat email instansinya sendiri. Aduhai betapa bermanfaat perayaan kemerdekaan, kenapa tak kita bagikan pula kepada setiap rakyat sebungkus putau, agar dalam ekstase mereka terpukau akan negeri yang begitu jaya dan sejahtera.

Bagaimana jika kita mulai keberanian untuk jujur menilai diri kita sendiri, bersama-sama memakai pakaian kesederhanaan dan menunjukkan hidup asketis, agar ketika rakyat menangis, kita bisa ikut menangis dengan sungguh-sungguh, bukannya mengeluarkan airmata buaya. Betapa bermanfaat, jika momen perayaan kemerdekaan kita memberikan hadiah kepada rakyat, dengan tambahan lapangan kerja, penaikan upah dan UMR, pemberian modal untuk UKM dan koperasi, pembinaan dan pengembangbiakan usahawan-usahawan muda, pengelolaan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang tidak setengah hati, benar-benar gratis dan tidak diskriminatif, tegaknya hukum dan terpenuhinya rasa keadilan, dan yang sungguh-sungguh penting adalah perhatian dan dukungan penuh untuk sebuah proyek restorasi kebudayaan. Konsep masyarakat pembelajar dan cerdas budaya harus benar-benar mulai digalakkan dengan keseriusan tinggi. Bukan lalu memberikan ‘pendidikan politik’ terus menerus melalui tontonan ketimpangan kebijakan dan merosotnya integritas dan kredibilitas partai-partai. Pantas saja, karena itulah yang kita berikan, masyarakat menjadi demikian akrab dengan pungutan liar dan variasi suap, dari tingkat RT, sampai pemerintah pusat. Kursi-kursi menjadi demikian berharga tinggi, tak hanya legislatif dan pemilihan kepala desa, bahkan hanya untuk memasukkan anak ke sekolah dasar. Pantas saja, contek masal menjadi mode kolektif pelajar kita dalam mencapai keberhasilan. Jika kita terus seperti itu, menjadi pantas dan sangat mengena, sindiran dari Budayawan Kyai, almarhum Gus Dur, bahwa bahkan untuk level para wakil rakyat yang memegang tampuk hikmat kebijaksanaan saja, kita masih seperti anak TK, belakangan bahkan ‘meningkat’ menjadi PlayGroup.
Ah, lupakan saja semua itu. Toh, kehidupan adalah saat ini. Pesta kembang api nanti pasti akan membuat kita senang, dan bangga sebagai bangsa, meski dalam sanubari kita yang terdalam kita menangis, meraung dengan sangat keras, “Kita harus berubah!”

Selamat tidur rakyatku, aku ninabobokkan kamu dengan dongeng si Kancil mencuri mentimun, dan kamu pun terlelap: selamanya.

Selasa, 14 Juni 2011

Eksplorasi Spiritual

“Dijadikannya sila ketuhanan pada urutan yang pertama, tentunya bukan semata urutan. Ada makna dalam tata urutan tersebut”.

Sesuatu yang pertama, adalah pendahulu, pondasi, dan asal muasal dari dua-tiga, dan seterusnya. “Ambilah kesempatan pertama,” begitu kata orang bijak, mengandung arti bahwa sesuatu yang pertama memiliki nilai lebih dibanding dengan yang kedua dan setelahnya. Dalam tradisi akademis kita yang dahulu pun, seorang siswa akan dengan bangga menyatakan dirinya sebagai ranking pertama, ranking satu. Konotasinya adalah, ia yang terpandai diantara siswa yang lainnya. Yang pertama, atau satu, memiliki kesan prestisius. Terbukti dari pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh para pencari berita, “siapa yang pertama kali menemukan....”

Nah, yang pertama dalam tatanan pancasila kita, adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Sebuah kesepakatan yang menyatakan bahwa bangsa ini mengakui adanya Kuasa Tunggal yang mencipta dan mengatur segalanya.

Ketuhanan menjadi menarik ketika ia coba dilepaskan dari agama-agama. Kala ketuhanan berdiri sendiri, ia menjadi sesuatu yang universal dan lebih personal. Penyebutan untuk hal ini adalah spiritualitas atau kebatinan.

Menariknya adalah, setiap hal yang ada di alam kebendaan, selalu memiliki sisi spiritual. Dalam pandangan fisika modern, apakah itu kemudian disebut listrik atau elektromagnetik, hal itu tidak terlalu penting. Akan tetapi, bahwa hal itu (spiritualitas) menggerakkan segala sesuatunya, itu sesuatu yang mesti menjadi perhatian dan perenungan bersama.

Spiritualitas memancar dalam segala sesuatu seperti halnya sinar matahari. Jika ia terhalang oleh benda-benda, maka timbul bayang-bayang, atau kegelapan. Dari hal ini kita mengerti bahwa kejahatan atau ketidakberesan di alam dunia, hanyalah efek dari spiritualitas yang terhalang. Kejahatan dan kerusakan, sama sekali tidak memiliki hakikat keberadaan; ia tidak eksis. Kejahatan sangat tergantung kepada energi spiritual untu mewujud. Sebagaimana tergantungnya bayang-bayang kepada cahaya.

Kita bisa melihat, bahwa penghalang cahaya spiritual itu adalah benda. Benda dan faham kebendaan yang membuat banyak sekali bayang-bayang, membuat dunia dipenuhi noda-noda kegelapan. Dengan begitu, tugas kita yang utama adalah, menghilangkan benda-benda yang menghalangi cahaya spiritual tersebut. Tentu saja, pertama kali, kita harus mengenal apa saja yang dikategorikan benda yang menghalangi cahaya spiritual.

Jika kita sudah mengetahui dan memahami benda, maka selanjutnya, kita harus mengetahui, bagaimana cara menghilangkannya. Inilah eksplorasi spiritual.

Diri kita menyukai kegemilangan, kekuasaan, kekayaan, dan kebahagiaan. Setiap manusia memiliki hasrat untuk mencari dan mendapatkan kenikmatan dan kepuasan. Hal itu tidak akan berhenti sampai seseorang berhenti menghirup udara. Udara adalah simbol kehendak semesta yang membuat semesta bergerak dan beraktifitas. Udara menyelelubungi bumi, sebagaimana keinginan menyelimuti benak setiap manusia. Ia mengatur suhu, menyaring benda-benda angkasa, bergerak mencipta hujan, membentuk daratan, dan menerbangkan awan. Nafsu manusia juga menentukan besar kecilnya perasaan dan amarah, menyeleksi setiap sesuatu yang dilihat dan didengar, juga mencipta kepuasan, dan menerbangkan angan-angan. Begitulah interaksi manusia dengan semesta. Selema manusia masih mampu bernafas, ia masih mampu bernafsu.

Tentunya hal ini bukanlah sebuah kesalahan. Inilah fitrah alami kita yang berguna untuk keberlangsungan penciptaan, dan kehidupan. Bagaimanapun, keberlangsungan keturunan manusia, hal itu berawal dari nafsu sepasang manusia. Laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki tidak memiliki ketertarikan kepada perempuan. Habislah manusia. Hanya saja, sangat perlu kita memahami, bahwa nafsu ibarat pisau tajam yang disatu sisi bisa digunakan untuk memotong buah-buahan, disisi lain, bisa juga digunakan untuk memotong nadi seseorang. Itu kenapa, nafsu harus dikendalikan melalui pengendalian nafas. Hal itu banyak ditemukan dalam setiap tradisi spiritual dan praktek-prektek meditasi yang berkembang di Timur. Namun kita akan mencoba melihat dari sisi lain, bukan dari sisi ritual dan yang lainnya.

Kita melihat, sebagian dari kita, seringkali meletakkan gagasan mengenai kenikmatan dan kepuasan pada benda-benda. Padahal kepuasan dan kenikmatan seharusnya berada dalam jiwa. Benda-benda yang tingkat spirtualnya lebih kecil dari manusia, tiba-tiba kita angkat derajatnya. Maka tenggelamlah kita. Hilanglah kemanusiaan, muncullah kegelapan. Inilah letak masalahnya. Kita salah meletakkan sesuatu, atau mencari sesuatu pada tempat yang salah. Kita mencari kepuasan dan kenikmatan, akan tetapi kita dengan semena-mena memutuskan bahwa kepuasan dan kenikmatan itu ada pada uang, mobil, rumah mewah, jabatan, dan bahkan ilmu pengetahuan. Karena kita meletakkan sesuatu pada tempat yang salah, itulah kenapa kita tidak pernah berhenti. Kita mencari pada tempat yang salah, itulah kenapa kita terus-menerus mencari; berpetualang. Kita letakkan mencari kenikmatan yang kita putuskan ada pada mobil baru. Sehingga kita berusaha keras mendapatkannya. Setelah kita berhasil mendapatkannya, apa yang kita rasakan, kepuasan? Ya, barangkali selama beberapa hari. Dipuji teman, disayang istri, dicemburui tetangga, itu semua membuat kita puas. Tapi kemudian, kita akan terbiasa, dan merasa biasa saja. Bahkan timbul soal-soal baru, yakni kita harus punya garasi yang aman, pengeluaran untuk bahan bakar dan servis rutin yang tidak sedikit, belum lagi kerabat dan saudara yang minta nebeng, tetangga yang minta bantuan untuk mengangkut istrinya ke rumah sakit, tepat ketika kita hanya punya waktu saat itu untuk jalan-jalan bersama anak-anak. Lalu kepuasan itu tidak tersisa sama sekali, dan berganti dengan keluhan, ditambah dengan celetukan istri yang tiba-tiba mengatakan, “ coba papa nggak beli mobil baru, mungkin kita masih bisa hidup tenang,” lalu nafsu kita bergolak lagi, ah, barangkali satu mobil tidak cukup, perlu satu lagi. Akhirnya terus menerus kita tidak pernah berhenti. Kita salah mencari, salah menempatkan letak kepuasan.

Kepuasan dan kenikmatan, harus kita letakkan didalam jiwa. Bagi orang yang sudah bisa meletakkannya ditempat yang benar, maka debu ditangan bisa menjadi senyum kegembiraan. Dedaunan yang jatuh perlahan menjadi momen kebahagiaan. Gubuk serasa istana, tikar lusuh laksana permadani. Kemesraan dengan istri bisa merebak hanya dengan kerlingan mata, bukan hadiah kalung permata. Ini bukan omong kosong. Inilah spiritualitas. Dan inilah yang ditempatkan oleh para pendiri bangsa, sebagai tatanan nomer satu. Sesuatu yang pertama, sebelum segala sesuatu setelahnya.

Bagaimana membuat bangsa ini bangkit dari keterpurukan, bangkit menuju kejayaan? Tanyakan pada seorang pembuat pisang goreng, pisang dimasukkan dulu ke wajan, baru ditaburi tepung, atau pisang dicampur dengan tepung dahulu, baru dimasukkan ke wajan. Kita bangun spiritualitas dulu, baru segala sesuatunya menyusul kemudian. Semoga Tuhan merahmati kita, karena Dia, kita letakkan pada urutan yang pertama, tidak hanya dalam teori, namun juga dalam praktek. Salam sejahtera untuk kita semua.